RAHASIA EMPAT HATI (bagian 2)
Dessy memutar-mutar gelang yang tadi dilingkarkan ke pergelangan
tangannya oleh laki-laki yang duduk disampingnya ini. Gelang yang
bagus, tentu ia membelinya dengan hatinya. Dan gelang ini bukan
untuknya, dia tahu betul hal ini. Diliriknya lagi laki-laki yang duduk
disampingnya dalam diam, akhirnya dia tak tahan lagi, diulurkannya
gelang itu kepada pemiliknya sambil tersenyum. Senyumnya juga disambut
senyum oleh laki-laki itu. Dan akhirnya mereka berdua tertawa
terbahak-bahak. Jika saja saat itu siang hari, pastilah taman tempat
mereka duduk sekarang dipenuhi orang-orang yang akan memandang mereka
sebagai pasangan yang aneh. Untung saja sekarang sudah malam, sudah tak
ada lagi orang-orang yang bersedia santai ditaman ini sambil mendonorkan
darahnya pada nyamuk malam yang kelaparan.
“Ambil gelang ini, aku ga sanggup nyimpannya. Kita kan cuma pura-pura aja agar mereka jadian” Dessy membuka suara
“Kalau nanti mereka melihat gelang itu tak ada ditanganmu bagaimana? Simpan saja untukmu, biar mereka tak curiga”
“Itu gampang! Aku bilang aja sayang kalo dipakai terus, nanti rusak.
Nih ambil, aku yakin sekali kau meletakkan semua rasa cintamu di gelang
ini. Ah, kenapa sih kamu ga jujur aja sama Alin?”
Kindi meneguk ludah, ada rasa sakit ketika menelan ludah itu. Dia
mengutuk dirinya sendiri mengapa jadi sepengecut ini. Tadinya dia merasa
bisa mengatasi semua ini, tapi nyatanya rasanya begitu sakit. Seperti
nyawanya terhisap para dementor di dunia sihir, begitu menyaksikan
kejadian tadi. Yah saat ia melirik Hapiz berlutut dan menunjukkan cincin
dihadapan Alin. Saat melihat wajah Alin yang entahlah bagaimana
melukiskannya. Mungkin seperti itulah wajah perempuan yang kaget
menerima surprise dari laki-laki yang disukainya.
“Kindiiiii, kok malah melamun sih?”
Teguran Dessy membuatnya sadar dari lamunan. Kindi nyengir melihat wajah dessy yang kesal.
“terima kasih ya atas bantuanmu hari ini. Aktingmu bagus, bagaimana
bisa kamu punya ekspresi terkejut seperti tadi?” Kindi menoleh pada
Dessy
“Aku sudah melatihnya kemarin-kemarin” sahut Dessy
Melatihnya? Hah, aku tidak melatihnya. Itu benar-benar ekspresi
terkejutku karena melihat Hapiz berlutut dihadapan Alin sambil
menyerahkan cincin. Aku benar-benar terkejut, merasa itulah akhir
penantianku, akhir pengharapanku pada Hapiz. Dan ternyata memang
semuanya sudah berakhir. Aku harus bisa legowo. Hanya aku yang
mencintai, sementara Hapiz tidak. Dia mencintai Allin. Untungnya tak
ada yang tahu perasaanku yang sebenarnya, tidak juga Kindi yang sudah
berterus terang padaku tentang perasaannya pada Allin. Biar saja begini,
biar aku sendiri yang menyimpannya. Untuk apa memberitahu orang lain?
Tokh hanya akan membebani orang lain saja. Aku bisa menyimpannya. Aku
bisa. Aku pandai berakting.
“Nah, sekarang kau yang gantian melamun”
Dessy tertawa lagi, menyembunyikan apa yang tadi difikirkannya “Aku
terbayang peristiwa tadi, saat kau berlutut didepanku dan melirik ke
arah Allin dengan perasaan sendu teramat berat. Ingin tadi rasanya aku
bongkar semua sandiwara kita selama ini. Kalau saja aku tak berjanji
padamu, Kindi jelek!”
“Wew! Kalau sampai kau bongkar tadi, aku tak mau lagi mengenalmu Des”
“dasar kau pengecut! Kalau sudah begini bagaimana lagi mau menjalani
hari-hari seperti sebelum ada pernyataan tadi? Argggggh, kenapa ada ide
gila seperti ini sih?” Dessy memukul-mukulkan telapak tangan kerambutnya
“Sudah terlanjur, kita lanjutkan sandiwara kita. Di depan mereka kita adalah sepasang kekasih”
“ aaaaaah, wani piro?? Aku ga mau!”
“Please. . .” Kindi menampakkan wajah memelasnya
“Ah, sebel! Kenapa aku harus punya sahabat kayak gini sih! Ya
sudahlah, ayo kita pulang. Simpan gelang ini” Dessy menyerahkan Gelang
berornamen hati dan not balok itu lalu melangkah pergi meninggalkan
bangku taman.
Kindi memasukkan gelang tersebut kesaku celananya dan menjajari
langkah Dessy, menuju motornya. Yah pulang lebih baik, bisa merilekskan
diri dengan mandi air hangat.
*****
Setiap akhir tahun perusahaan tempat Hapiz dan Dessy bekerja, selalu
mengadakan liburan akhir tahun. Tapi khusus karyawan saja, tidak boleh
membawa keluarga apalagi pacar. Dan tahun ini tujuan mereka ke jogja!
“Kau pasti sedang memikirkan Kindi!” bisik Hapiz pada Dessy yang
duduk memandang jendela. Mereka sedang didalam bus, menuju Jogja. Hapiz
memang memilih duduk dengan Dessy agar bisa berbincang-bincang, dia
sampai harus merayu-rayu Maria agar mau tukaran tempat duduk dengannya.
“Lho kok tahu?” sahut suara disampingnya, Hapiz terdiam. Ternyata
Dessy memang sedang memikirkan Kindi, rasanya ingin dia tukaran tempat
duduk lagi dengan Maria jika saja tak malu.
“Ya tau dong Des, kelihatan tuh dari matamu” jawab Hapiz dan pada
saat bersamaan mata mereka bertemu. Hapiz gelisah, tapi mencoba biasa
karena wajah yang kini dipandangnya itu malah tertawa.
“Kok malah ketawa gitu?” ucap Hapiz hampir seperti salah tingkah
“Sejak kapan jadi bisa menerawang lewat mata gitu?” Dessy balik nanya
“Sejak mengenalmu!” celetuk Hapiz
Dessy tertawa. Seandainya Hapiz tahu betapa sulitnya dia harus
menahan ekspresinya saat mata mereka bersirobok tadi, itulah sebabnya ia
tutupi dengan tawa. Dengan begitu hapiz tak akan tahu betapa jengahnya
suasana tadi baginya. Aku memang seharusnya jadi aktris saja, bermain
sinetron atau film, bukan jadi public relation seperti ini. Ah, tapi
bukankah memang pekerjaanku menuntutku untuk pintar mengemas sikap, jadi
yah wajar saja. Dessy menghela nafas, menoleh kesamping dan mata mereka
bersirobok kembali. Cepat-cepat dessy mengalihkan matanya menghadap
jendela kaca disampingnya, menyaksikan pemandangan sepanjang jalan.
“Gimana hubunganmu dengan Alin?” akhirnya dia membuka percakapan dengan hapiz
“Lancar, tak ada masalah. Allin itu doyan banget ngerjain aku, sukanya teriak-teriak, benar-benar tomboy” ungkap Hapiz
“Ya begitulah Allin, dia selalu ceria. Eh kita sudah sampai, ayo siap-siap turun”
Sial, mengapa selalu saja aku tak pernah mendapat moment yang
pas. Mengapa aku selalu tak bisa membaca hatinya. Mengapa tak ada
terbersit cemburu sedikitpun diwajahnya, padahal ketika dia bercerita
tentang Kindi, aku cemburu setengah mati. Rasanya dadaku panas terbakar.
Apa dia memang tak memiliki rasa cinta padaku? Tuhan, bagaimana meredam
gejolak dihatiku ini. Hapiz membatin gelisah
Dessy bergegas melangkah, ia berlari mendekati Maria. Jika ia
berjalan bersisian dengan Hapiz, dia tak tahu lagi bagaimana
menyembunyikan rona cemburu diwajahnya. Ya, dia cemburu sekali ketika
Hapiz memuji-muji Allin. Oleh karena itu, dia harus menetralisir rasa
cemburunya dengan ngobrol bersama teman-teman lainnya. Tiba-tiba kakinya
terantuk batu, dan ia limbung akan jatuh. Tapi sebuah tangan menyambut
tubuhnya yang limbung, menariknya agar tidak jatuh, dan refleks mereka
jadi berhadapan. Hapiz! Dessy merasakan perutnya tegang. Wajahnya pias.
“Kau tak apa-apa? Ada yang terluka?” wajah itu begitu resah, panik.
“eh, nggak apa-apa kok, aku cuma kesandung aja” Dessy menjawab gugup
“Makanya kamu ga usah lari-lari kayak mau ketinggalan kereta aja!”
“eh, aku ditinggalin Maria tuh kan, ayoo buruan. . .” Dessy berusaha
melepaskan diri dari pegangan Hapiz dan mulai bergerak tergesa menuju
Maria, tapi lagi-lagi tangannya ditarik Hapiz hingga ia membalik lagi
kearah Hapiz. Kali ini Dessy benar-benar terkesiap, kaget sekali.
“bareng aku aja!” Hapiz menggenggam tangannya dan menyeretnya melangkah menyusul teman-teman mereka yang sudah didepan.
*****
Hujan turun seperti ribuan anak panah yang dilesatkan, membuat Allin
dan Kindi terpaksa menepi mencari tempat berteduh. Sepanjang emper
toko-toko, banyak juga orang-orang yang juga menepi. Kindi menggamit
lengan Allin, menunjuk sebuah Cafe dipojok. Allin mengangguk dan mereka
melipir diantara orang-orang yang sedang berteduh, menuju Cafe dengan
papan nama ‘De Lovers’. Memasuki Cafe rasanya begitu nyaman dan hangat.
Seorang pelayan menyongsong mereka ketika mereka sudah mengambil tempat
duduk di dekat kaca jendela yang langsung berhadapan dengan jalanan
didepannya. Mereka memesan dua cangkir cokelat hangat dan cake
blueberry.
“Lucu ya Lin, kita disini jalan-jalan karena ditinggalkan pasangan masing-masing ke Jogya” Kindi membuka obrolan
Allin tertawa dan menggangguk-angguk menyetujui
“Kamu ga kangen dengan Hapiz?”
“Ga! Kan ada mas Kindi disini” sahut Allin tertawa kembali “Lha
emangnya mas Kindi ga kangen dengan mba Des?” Allin balik bertanya
“Ga juga, karena ada kamu disini” jawab Kindi dan merekapun tertawa kembali
“Mas, aku sangat senang dengan hujan. Memperhatikan rintiknya yang
perlahan membesar, tetesnya yang jatuh menyentuh tanah atau lantai, yang
kemudian memercik kecil kesekitarnya. Aku senang banget natap hujan
seperti ini apalagi kalau. . . “ Allin menggantung kalimatnya
“Kalau ditemani aku kan?” sambung Kindi
“Huh, Ge-er banget sih!” namun tak urung hati Allin berbunga-bunga.
Yah itu yang diharapkannya dari laki-laki yang kini sedang menghirup
cokelat panas dihadapannya ini.
Kindi sering menjawab kata-kata menggantung darinya dengan
celetukan-celetukan seperti tadi. tapi Allin merasa celetukan-celetukan
itu bernada canda saja, tak mungkin dia bisa meraih Kindi menjadi
kekasihnya saat mereka sendiri tahu siapa pasangannya masing-masing.
Baginya menjalani hubungan dengan Hapiz adalah hal yang menyiksa,
bertahan hanya untuk mendapatkan kecemburuan Kindi saja. Berharap
sangat Kindi memutuskan Dessy dan menjadi kekasihnya. Jika memang bisa
seperti itu, jika memang Kindi berani mengambil tindakan itu, dia akan
memutuskan untuk berpisah dengan Bang Hapiz. Dia akan menerima jika
Hapiz membencinya, asalkan dia bisa bersama dengan Kindi.
“ehm, mas pasti orang-orang diluar sana yang memandang kearah kaca
ini, menyangka kita adalah pasangan ya?” Allin memancing kembali dengan
sebuah tanya
Kindi bangkit, menggeser kursinya sedikit mengulurkan tangannya
kekepala Allin dan menjitaknya dengan suskses. Allin berteriak dan Kindi
tertawa menikmati kemarahan Allin. Allin menangkap tangan Kindi dari
kepalanya dan menggigitnya dengan kencang. Kindi menjerit tertahan, dan
segera menarik tangannya dari cengkeraman Allin. Kalau saja beberapa
pasang mata di Cafe De Lovers ini tidak melihat kearah mereka, pastilah
Kindi akan membalasnya dengan menjitak kepala Allin dengan sangat keras.
“Dasar kamu Lin, sampai sakit tanganku. Nih lihat” Kindi mengulurkan tangannya yang digigit Allin tadi
“Siapaaa suruh mas Kindiiii jitak kepalaku? Lagian mas Kindi itu sering banget jitak kepalaku!” sungut Allin
“Itu karena aku sayang kamu Lin, . . .” Kindi menghentikan ucapan yang tiba-tiba keluar dari mulutnya
“ Ap app apa mas? Mas coba ulangi lagi. Mas sayang aku?”
“Eh hujan udah reda Lin, Ayo kita pulang!” elak Kindi
“Mas Kindiiii, kenapa sih mas ga mau jujur!” Allin menarik lengan Kindi yang mulai beranjak dari kursinya
Kindi menatap Allin dan menghela nafas panjang.
“Ya aku sayang kamu Lin, aku suka kamu jauh sebelum kamu jadian
dengan Hapiz. Tapi apa gunanya rasa sukaku sekarang? Bukankah kamu
menyukai Hapiz, dan kalian bahagia.
“Aku juga suka dengan mas Kindiii!” sahut Allin pasti. Yah ini yang
ditunggunya selama ini, ungkapan hati Kindi dan dia tak ingin melepas
kesempatan ini, tak mau lagi.
Hujan kembali menderas diluar, menjadi saksi kejujuran diantara Kindi dan Allin. Cafe Delovers pun mendadak penuh bunga.
*****
Dua bulan berlalu sejak kejadian di Cafe Delovers itu, dan baik Dessy
maupun Hapiz belum mengetahui bahwa Allin dan Kindi telah menjalin
hubungan dibelakang mereka. Namun hari ini Allin dan Kindi memutuskan
untuk berterus terang pada Dessy, karena tokh hubungan Kindi dan Dessy
hanyalah pura-pura.
“What? Kalian jadian. . .” dessy terkejut bukan main
“mengapa begitu terkejut mba? Mba dan mas Kindi kan cuma pura-pura
jadian, jadi ga masalah kan kalo aku jadian dengan mas Kindi?” tanya
Allin
“haiya iya! Okelah kami memang berpura-pura, tapi kamu dengan Hapiz
kan ga pura-pura Allin? Terus kalau Hapiz tau gimana?” desis Dessy
“itu. . . itu. . .” Allin gugup
“Kami akan berterus terang Des, kami akan siap jika Hapiz marah. Kami tak punya pilhan lain” sahut Kindi
“Arrrrgh, kalian ini benar-benar gila. Crazy! Aku ga mau bantu dan terlibat. Aku ga tega lihat Hapiz”
“Des, Please” pinta Kindi
“Nope! Esok malam aku akan terbang ke Jepang. Tidak mungkin aku
menolong kalian untuk mengatakan hal ini pada Hapiz, lalu aku
meninggalkannya seenaknya saja ke Jepang. Dia pasti akan merasa terpukul
sekali. Kalian harus menyelesaikannya sendiri, okeh!” jelas Dessy
Allin dan Kindi angkat tangan, mereka paham dengan penjelasan Dessy.
Mereka akhirnya pamit pulang untuk memikirkan rencana terbaik bagaimana
berterus terang pada Hapiz.
Selepas kepulangan Kindi dan Allin, tangis Dessy pecah. Ada rasa
bahagia ketika mendengar pernyataan Kindi dan Allin tadi, tapi juga ada
rasa sedih mengetahui Hapiz akan terluka. Dessy sudah bisa menerima
kenyataan bahwa Hapiz tak bisa jadi miliknya, oleh sebab itu ia
memutuskan untu ke Jepang, agar dia bisa melupakan Hapiz seutuhnya dan
mengubur rasa yang tak seharusnya ada. Diam-diam Dessy menerima tawaran
bibinya yang menikah dengan Paman Nakamura untuk ikut membantu pamannya
diperusahaannya, dan dia hanya menceritakan hal ini pada Kindi saja.
Tapi mengetahui Hapiz akan terluka sungguh membuatnya bimbang.
*****
“Shitt” Hapiz mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia
merasa benar-benar jadi pecundang. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui
kalau Dessy berhenti bekerja dan akan ke Jepang malam ini. Malam ini!
Sungguh keterlaluan sekali dia tak memberitahuku. Kalau saja Allin tak
memberitahunya sore tadi, pastilah dia tetap tidak akan tahu. Lagipula
mengapa Allin baru memberitahunya sekarang, dan dia beserta Kindi sudah
ada dibandara saat ini mengantar dessy. Bagaimana bisa mereka tak
mengajakku!. Hapiz memukul-mukul tangannya pada stir, hampir saja dia
menabrak kendaraan didepannya jika dia tak cepat mengerem.
Mengapa begini Tuhan? Mengapa rasanya hatiku begitu sakit? Begitu
berongga, seolah ada yang mengambil hatiku dan membawanya pergi.
Bagaimana Dessy bisa pergi begitu saja, disaat dia sudah memutuskan
untuk mengakhiri hubungannya dengan Allin, yang makin terasa hambar. Hm,
hubungannya dengan Allin hanya seperti kakak dan adik saja, tak ada
denyar-denyar cinta saat mereka sedang berdua. Nothing chemistry! Tapi
jika bersama dengan Dessy, rasanya ia melayang ntah kemana. Tapi. . .
Tapi. . . apa yang terjadi kini? Mengapa dia ke Jepang? Bagaimana
hubungannya dengan Kindi? Mengapa Kindi tak mencegahnya untuk pergi? Oh,
berapa banyak yang tidak kuketahui! Kemana saja aku selama ini?
Mobilnya memasuki area bandara Soekarno-Hatta, memarkirnya dengan
tergesa dan berlari terengah-engah memasuki bandara menuju ruang tunggu.
Di liriknya jam tangannya, 19:50 Wib, 10 menit lagi pesawatnya akan
fly. Sambil berlari, ditariknya dasinya untuk dilonggarkan, dia butuh
ruang untuk bernafas.
Dan tiba juga dia diruang tunggu, matanya mencari-cari sosok-sosok
yang dikenalnya, dan berhenti disatu titik, dimana dia bisa melihat tiga
wajah yang dikenalnya. Masih berlari dia menuju kearah sosok-sosok itu.
“Ba ba bagaimana bisa kau pergi tanpa memberitahuku?” tanya hapiz
disela-sela nafasnya yang terengah, kedatangannya membuat tiga sosok
dihadapannya terkejut.
“Mas Hapiz!” suara Dessy hampir tak terdengar, matanya mulai berkaca-kaca
“Bang Hapiz. . .” ucap Allin tercekat
“Hapiz. . .” bisik Kindi
Masih berusaha mengatur nafasnya, hapiz bertanya kembali “mengapa? Mengapa tak cerita?”
“itu. . .itu. . .karena aku tak ingin mengganggumu. Dan memang
kurahasiakan dari kalian, aku tak ingin kalian bersedih jika aku pergi.
Aku pasti akan merindukan kalian semua” jawab dessy dengan tertahan,
airmatanya sudah mengalir. Menyaksikan Hapiz yang terengah-engah dan
Allin serta Kindi, dia yakin sekali bahwa keduanya belum berterus
terang. Hapiz yang malang. . .
“Tapi kau tidak boleh seperti ini. Mana boleh kau seperti ini padaku!
Kita satu kantor, bagaimana bisa aku tak mendengar apapun tentang
kepergianmu” sambung Hapiz sambil mendekat
Allin dan Kindi tercekat
“Itu karena kau ditugaskan keluar kota selama seminggu ini, mas.” Sahut Dessy lagi
“oh ayolah, jangan bersedih begini, aku tak akan lama disana. Hanya
ingin menikmati negeri impianku saja. Kita semua masih bisa
calling-callingan atau chatting. Siapa tahu kau juga nanti bisa ke
Jepang, mewakili perusahaan. Kita kan masih bisa ketemu. Ayolah ini
bukan perpisahan selamanya” dessy mencoba mentralisir suasana
“Yah betul itu bang. Aku minta maaf ya tak segera memberitahumu
kemarin ketika aku tahu, aku takut mengganggu konsentrasimu diluar kota
itu. Lagian kok Bang Hapiz segitunya, kayak melepas kekasihnya aja”
tambah Allin
Hapiz menoleh kearah Allin, matanya memandang kearah Kindi dan
mendekatinya, menonjok bahunya pelan, “Bagaimana kau tak cerita soal
ini, kawan. Padahal seminggu sebelum aku keluar kota kita makan-makan
berdua”
“Maaf Piz, itu karena permintaan dessy agar dirahasiakan” jawab Kindi
pelan, matanya melirik dessy, bingung harus bagaimana, bingung dengan
sikap melankolis dessy yang menangis sesengukkan. Eh, ada apa ini ya?
Jangan. . .jangan. . .! kindi membatin gelisah.
KEPADA PARA PENUMPANG TUJUAN JEPANG DIHARAPKAN BERSIAP-SIAP, KARENA PESAWAT AKAN SEGERA TINGGAL LANDAS.
Suara itu membuyarkan suasana aneh diantara mereka, dessy bersiap
meninggalkan teman-temannya. Menyalami Kindi, berpelukan dengan Allin
dan terakhir menyalami Hapiz. Saat itu tiba-tiba Hapiz menarik
tangannya dan memeluknya, dessy meronta kaget, Hapiz melepaskannya dan
dengan nakal berseru “pelukan karena kau tak memberitahuku. Oke,
hati-hati disana ya dan beri kabar pada kami”
Dessy melambaikan tangan kearah mereka bertiga, berbalik dan bergegas
melangkah meninggalkan Kindi, Allin dan Hapiz. Meninggalkan sepotong
hatinya pada seseorang.
*****
*Busyett dah, butuh waktu 3 harian buat ngelanjutin cerita Allin
ini. Paling susah buatnya karena pake nama sendiri, juga pake nama
kawan-kawan yang udah dikenal. Tadinya mau buat yang sangat romantis
kayak film korea ituh, tapi ga kuat begitu liat nama-nama tokohnya,
khawatir ntar ada yang jatuh cinta beneran ama gue. peace ^_^
*Asyiiiik gue ke Jepang! Yang ngelanjutin bagian 3 harus cerita tentang Jepang yak! ^_^