Koridor SMU Tiga mulai senyap. Har melangkah dengan
gontai. Di benaknya masih
terngiang-ngiang kata-kata Pak Tugiman sebelum dirinya meninggalkan kelas XII
Sos 1.
“Har, minggu depan ujian
nasional. Sampaikan sama bapakmu, tunggakan SPP-nya segera dilunasi”
“Kalau belum lunas, artinya saya
batal ikut UNAS Pak?”
“Bisa jadi. Kalaupun boleh ikut,
kamu harus antri kartu sementara. Bapak sih berharap semua siswa SMU Tiga fokus
mengerjakan soal-soal saja. Tidak ada
yang berdesakan mengambil kartu sementara”
Angin siang menjelang sore
bertiup sepoi. Har mendengus kesal ketika mendapati tulisan di dinding
perpustakaan “ SETIAP WARGA BERHAK MENDAPATKAN PENDIDIKAN”
“ Mas Har..tunggu!” Har
menghentikan langkahnya. Seorang gadis berjilbab melangkah dengan tergesa-gesa.
Nia adalah sepupunya yang duduk di kelas sepuluh.
“Kok mukanya kusut gitu Mas? Ada
masalah?” tanya Nia setelah langkah mereka agak berjajar. Har menjawab dengan
anggukan kepala
“Ayolah cerita. Siapa tahu Nia
bisa ngebantu “
“Masalahku apalagi kalau bukan
soal SPP menunggak”curhat Har akhirnya
“Apa perlu Nia minta bantuan
Ayah. Minggu depan Mas Har UNAS kan?” Nia meminta persetujuan. Har
menggelengkan kepala
“Kamu dan Lik Sarpan sudah
banyak membantu kami. Lik Sarpan yang
ngasih uang waktu daftar ulang saat bapak kebingungan cari uang untuk daftar
ulang masuk SMU Tiga. Hampir setahun ini aku juga nebeng matic kamu”
“Mas Har, kita kan saudara. Guna
saudara kan saling membantu satu sama lainnya”
“Pokoknya aku ndak mau
ngerepotin kamu dan Lik Sarpan lagi. Titik” tegas Har. Nia mengulurkan kontak
motor maticnya
***
Magrib hampir datang. Har sedang
sibuk memasukan dan menata
kerupuk-kerupuk mie ke dalam plastik besar berwarna bening.
“Belum pulang Har?”tanya Lik
Yanto pemilik pabrik kerupuk mie tempat Har bekerja sepulang sekolah
“Sebentar lagi Lik. Mmm. Lik,
minggu depan Har ujian nasional. Mungkin Har selama seminggu tidak masuk kerja”
“Padahal pemesan kerupuk sedang
banyak-banyaknya Har. Tapi karena ujian, Lik kasih ijin. Belajar yang rajin dan
tekun ya! Jangan lupa berdoa.”
“Lik...”
“Hmmm..”
“Har mau pinjam uang buat
melunasi SPP. Ada Lik?”
“Har..Har..kamukan tahu kemarin
Lik habis nyetok tepung topioka. Kalaupun sisa, kan buat gajian kamu dan karyawan
lainnya”
“Tapi Lik..”
“Har, hutangmu masih banyak.
Tapi karena kamu butuh uang, gajian kamu minggu ini tidak Lik potong.
Bagaimana? Lik Sarpan memberi jalan tengah. Mau tak mau Har menganggukan kepala
sebelum akhirnya berpamitan pulang.
Har sampai di rumahnya
bertepatan kumandang adzan dari musala Nurhidayah
“Baru pulang Har?” tanya Pak
Karso, ayahnya.
“Inggih Pak “ jawab Har singkat
“Har kamu gajian?” tanya Pak
Karso sembari memakai peci hitam, bersiap-siap menuju musalah. Har menganggukan
kepala. “ Bapak pinjam Rp.30.000. Ada?”
“Ngapunten Pak, uang Har
nantinya buat bayar tunggakan SPP. Itupun belum lunas”
“Yo wis, buat bayar SPP dulu.
Maafkan Bapak ya Har! Harusnya kamu dan Ed tugasnya belajar dan sekolah saja.
Kalian malah bekerja sepulan sekolah. Bapak memang bukan bapak yang baik”
“Bapak nggak boleh ngomong
seperti itu. Semenjak Ibu meninggal, Bapak bekerja keras menjadi ayah sekaligus
ibu buat kita”
***
Mentari pagi yang seharusnya
hangat dan segar terasa begitu terik dan menyengat bagi Har dan murid-murid
kelas XII yang berdesakan demi mendapatkan kartu sementara agar bisa ikut
ujian. Sementara itu, teman-temannya yang berasal dari kalangan berada tengah
asyik membaca dan mengerjakan soal demi soal yang ada di kertas ujian
Har menarik napas lega setelah
kartu sementara yang didapatnya dengan susah payah berhasil dalam genggaman. Har berlari menuju ruang ujian setelah
berkali-kali mengucap syukur
Begitu sampai di kelas, setelah
menyapa guru penjaga, Har menuju bangkunya.
***
Magrib belum tiba. Lampu-lampu
di rumah Har belum menyala. Ya, rumah Har memang belum pasang listrik sendiri,
tapi menyalur di rumah Mak Saedah yang rumahnya berada di belakang rumah mereka.
“Pak tumben kok Mak Saedah belum
nyalain lampu? Bakda magribkan Har harus belajar”
“Sabar ya Har, sementara saluran
listrik rumah ini diputus. Kalau sudah bayar baru disambung lagi”
“Tapi Pak, Mas Har kan besok
ujian. Kasian kan?”sela Ed yang sudah memakai sarung, baju koko dan peci.
“Tadi Bapak juga sudah ngomong
agar jangan diputus dulu. Maafkan Bapak ya Har, Ed. Bapak memang orang tua yang
tak berguna”
Suasana hening. Ed dan Har menyesal telah membuat bapaknya
sedih.
“Pak, Ed, daripada bengong,
mending kita cari dimana lampu-lampu teplok. Ed, sebelum ke musalah, tolong
belikan minyak tanah di toko SARI. Seingatku di sana ada minyak tanah. Uangnya
ada di saku seragam Mas Har.”
“Beres Bos “
***
Malam ini rumah Har nampak
lenggang. Selain cahayanya yang temaram, Ed sedang ke rumah Bas sahabatnya. Pak
Karso sedang ke rumah Bu Gendi, hendak mengambil upah buruh macul selama 3
hari. Hanya Har yang sedang berjibaku dengan tumpukan buku catatan dan buku
paket pelajaran.
Dalam Cahaya Temaram, Har
beruajar berkali-kali. Di dalam hati. Har berjanji, agar belajar sebaik mungkin.
Akan berusaha sekuat mungkin agar hari esok dirinya dan keluarganya hidup lebih
baik lagi. Dalam Cahaya Temaram, Har tak putus berdoa kepada Allah agar besok diberi kemudahan
mengerjakan soal-soal ujian..
Keterangan, Cerpen ini pernah
dimuat di Minggu Pagi, KR grup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar