Langit
kelabu. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Pak Jujur mengemasi koran dan
majalah dagangannya.
Majalah atau tabloid ia simpan di dalam kios. Sementara koran harian ia masukan
ke dalam tas. Biasanya, di tengah jalan ada yang membeli satu atau dua koran.
Setelah mengunci kios, Pak Jujur menuju sepeda ontelnya.
Gerimis
kecil mulai jatuh ke bumi. Pak Jujur mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa.
Bress...rintik
gerimis menjadi hujan lebat. Pak Jujur menepikan sepeda dan berteduh di sebuah
ruko yang terkunci.
Saat
hendak duduk di tepi ruko, mata Pak Jujur menangkap sehelai uang lima puluh
ribuan. Suasana sepi. Pak jujur mengambil uang tersebut. Sebelum ia memasukan
ke kantong bajunya, Pak Jujur mengetuk pintu ruko berkali-kali untuk menanyakan
perihal uang yang ia temukan. Tapi nihil
“Mungkin
Haji Mustaqim sedang ke Surabaya”ujar Pak Jujur di dalam hati. Sembari menunggu
hujan reda, Pak Jujur mengambil sehelai koran dari dalam tasnya dan menyelami isi berita-berita dari dalam koran
Tiga
puluh menit kemudian, hujan reda. Langit sore dihiasi pelangi yang indah. Pak
Jujur memasukan lagi korannya ke dalam rangsel hitam.
Sebelum
ia mengayuh sepedanya, Pak Jujur mengambil uang temuannya, kemudian menyimpulkan
kalau uang yang ia temukan adalah uang palsu. Pertama karena uangnya kucel,
kedua karena ukuran uannya sedikit lebih kecil dari uang lima puluh ribuan yang
Pak Jujur punya.
Dua
kilometer lagi Pak Jujur sampai di rumah mungilnya. Ketika sampai di warteg dekat
pasar Trayeman, sepeda Pak Jujur karena cacing-cacing di perutnya sudah main
orkes. Mungkin karena tadi pagi tak sempat sarapan.
“Bu
nasi separo sama telur ya..”ujar Pak Jujur sembari mengambil tempat duduk dari
kursi plastik
“Nggih
Pak Jujur. Minumnya tawar hangat?”tanya si pemilik warung. Pak Jujur menjawab dengan anggukan kepala
Warteg
tempat Pak Jujur mengisi perut yang biasanya selalu ramai kali ini tampak sepi.
Hanya dirinya dan seorang tukang becak yang sedang makan dengan lahapnya.
***
“Sampun
Bu..nasi separo, telur dan tempe goreng satu. Piro?”tanya Pak Jujur setelah
menghabiskan air dari dalam gelas
“Biasa
Pak Jujur, tujuh ribu saja”
Pak
Jujur mengambil dompet kumalnya, ia
hendak membayar dengan uang yang ia temukan. Tapi karena tak tega,maka ia
membayar dengan uang sepuluh ribuan yang ia miliki.
“Suwun
Pak Jujur”Si Ibu berkata tulus sembari menyerahkan uang kembalian. Pak Jujur
menarik napas lega karena tidak jadi membayar dengan uang palsu itu
Setelah berpamitan kepada pemilik
warung, Pak Jujur melanjutkan perjalanannya.
Ketika
sampai di depan toko kelontong di ujung gang menuju rumahnya, Pak Jujur
mendadak ingat janjinya pada Laras putrinya yang hari ini sedang mengikuti
lomba menggambar untuk membelikan satu set pensil warna
Setelah
memarkirkan sepeda, Pak Jujur masuk toko kelontong dan mencari pensil warna
yang dijanjikan. Setelah mendapatkan satu set pensil warna dan buku gambar
ukuran besar, Pak Jujur menuju kasir
Pakai uang temuan itu ah. Toko ini
toko besar, pasti rugi lima puluh ribu bukan masalah besar. Pak jujur membatin, sembari
mencari uang temuannya dari dalam dompet.
“Sudah
ini saja Pak Jujur?”tanya kasir muda itu ramah.
“Nngg..iyya.
Berapa?” Pak Jujur menjawab dengan tergagap
“Dua
puluh lima ribu Pak”
Pak
jujur lagi-lagi tak jadi memakai uang temuannya untuk membayar. Pak Jujur
berpikir, meski di sana tak ada komputer, alat pengecek uang pasti dengan mudah
mengetahui siapa pemilik uang palsu itu. Karena saat itu toko kelontong besar
itu ndilalah juga dalam keadaan sepi pembeli.
Pak
Jujur mengetuk rumahnya dengan perasaan gundah karena sore ini ia hanya
memegang uang Rp 27.500. Padahal harga-harga sedang melambung.
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam..”Laras
menyambut kedatangan bapaknya dengan riang. Pak Jujur tersenyum,perasaan
gundahnya hilang entah kemana.
“Pak,
Laras...”
“Laras,
biarkan Bapakmu mandi dulu dan ganti baju. Ayok bantu Ibu membuat pisang
goreng”teriak Bu Sakinah dari dalam dapur.
“Iya
nduk, Bapak mandi dulu ya, ini pensil
dan buku gambar yang kemarin Bapak janjikan”kata Pak jujur kemudian.
Setelah
berterimakasih pada bapaknya, Laras bergegas lari ke dapur membantu Bu Sakinah.
“Bapak
kok mandinya lama benar” seru Laras.
“Sebentar kok, kamu
saja yang nggak sabaran” jawab Pak Jujur. Wajahnya lebih bersih pakaiannya wangi
pengharum pakaian. Di meja telah tersaji pisang goreng yang masih mengepul.
“Pak’e
, anakmu yang manja itu ceritanya mau pamer habis menang lomba menggambar.
Selain piagam, Laras juga dapat uang pembinaan. Tadi Ibu dikasih gadis kecil
kita uang seratus ribu. Padahal Ibu sudah bilang uangnya di tabung saja”ujar Bu
Sakinah lembut sembari menaruh segelas Teh hangat di meja.
“Memangnya
hadiahnya berapa nduk?”
“Laras
juara 2, dapatnya 500rb”
Alhamdulillah..mata
Pak Jujur berkaca-kaca
“Bapak,
nanti habis magrib anterin Laras ke rumah Pak Karso bendahara masjid ya,
Bapakkan selalu bilang kalau dapat rejeki jangan lupa sedekah”ujar Laras
setengah berbisik. Mata Pak Jujur kali ini benar -benar basah
Nb. Cerpen ini dimuat di majalah Aku Aku Anak Saleh, November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar