Namaku Koko. Tapi, hampir semua siswa di SMA 3 memanggilku
Emon. Jujur aku marah, benci, tak suka
dipanggil demikian. Tapi aku bisa apa? Aku tak becus mendribel bola saat basket.
Kakiku kaku seperti kayu saat menggiring bola. Tanganku gemetar memegang raket.
Tenagaku juga tak kuat saat memukul bola voli. Tak hanya itu, kalau lompat
tinggi aku orang pertama yang gugur di ketinggian 110 cm. Namaku Koko. Karena
aku selalu jadi pecundang di pelajaran
olahraga, mereka memanggilku Emon. Ohya suaraku juga lembut. Seperti suara
ibuku
Ibuku
meninggal saat aku kelas 1 SD. Bapak bekerja sebagai tukang macul. Bapak bekerja kalau ada pemilik sawah yang menyuruh.
Kalau tidak? Bapakku nganggur
Meski aku
lahir dari keluarga tak mampu, aku termasuk anak yang cukup cerdas. Di bangku SD
aku sering mendapat peringkat kelas saat
pembagian rapot
Namaku Koko.
Aku ingin terus sekolah meski untuk itu, sejak kelas 3 SD aku sudah bekerja di
pabrik kerupuk di dekat rumah. Aku juga kerap ditegur guru karena sering telat
bayar iuran SPP. Penampilanku juga paling kucel dibanding murid-murid lainnya.
Maklum baju seragamku cuma satu.
Karena hidup
dalam kemiskinan, sejak kecil aku tak pernah merasakan asyiknya bermain bola di
lapangan seperti anak lainnya. Tak bisa
bebas mandi di kali gung karena
sepulang sekolah aku harus berangkat
kerja hingga petang hari. Andai saja ibu belum tiada? Andai saja bapakku kaya
raya? Aku tak perlu susah payah agar bisa terus sekolah
Namaku Koko.
Kalau hari minggu aku juga harus disibukan mencuci baju dan seragam, melipat
kadang juga menyetrikanya. Aku cuma gigit jari melihat anak-anak lain memancing
atau bersepeda ria ke Waduk Cacaban, yang terkenal di kota kami.
Aku nyaris
putus asa ketika bapak tak mengizinkanku untuk melanjutkan sekolah selepas
mendapat ijazah SMP
“Biaya SMA
itu selangit. Kamu tak lihat sepupumu Ragil yang orangtuanya menjual tanah
untuk biaya sekolahnya?” cecar bapak kala itu. Aku hanya bisa menunduk tanpa
bisa melawan.
Setahun
lamanya aku memendam rindu duduk di bangku sekolah, berseragam putih abu-abu.
Kalau malam menjelang aku sering menangis di sajadah kadang juga membahasi buku
harian saat meluapkan gundah gulanda
karena ingin sekolah. Setahun lamanya aku menyimpan mimpi sembari terus bekerja
di pabrik kerupuk kepunyaan Lik Yanto
Namaku Koko. Suatu hari Tante Yeni sahabat almarhum ibu.
Tante Yeni bersedia menyekolahkanku dengan sarat aku ikut ke kota membantu
mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel atau mencuci motor atau
mobil kepunyaan suaminya. Tanpa pikir panjang dan bapak membolehkan aku
mengiyakan ajakan Tante Yeni. Asal bisa sekolah, pekerjaan-pekerjaan itu tak menjadi beban
buatku. Lagi pula bukankah pendidikan adalah hak setiap warga negara?
Orang-orang
kota dan orang-orang di kampungku ternyata seperti air dan api. Ketika di
kampung tak pernah ada yang mengejekku Emon, Beti atau apalah. Di kampung aku
dikenal sebagai anak penurut dan pintar. Itu saja
Kali pertama
aku mengenalkan diri di depan kelas,
mendengar suaraku yang kecil dan lembut murid-murid di kelasku langsung
berseloroh Emon. Emon. Emon. Belakangan aku baru tahu kalau Emon adalah salah
satu karakter di novel dan film Catatan Si Boy yang kemayu dan centil seperti
perempuan
Tante Yeni
punya anak yang seumuran denganku, namanya Ferdy. Ferdy juga sepertinya tak menyukaiku. Kalau di
sekolah ia seperti tak mengenalku. Kalau di rumah Ferdy juga hanya berbicara
denganku seperlunya saja. Padahal aku ingin berkawan dengannya.
Suatu hari
Tante Yeni dan suaminya ke luar kota. Ferdy yang biasanya di rumah kalau ada
orang tuanya, pergi entah kemana. Mungkin ke rumah temannya, mungkin juga ke
diskotik seperti anak orang kaya lainnya. Ohya Tante Yeni dan keluarganya,
punya pembantu rumah tangga yang bertugas memasak dan menyetrika, tapi biasanya
berangkat pagi dan pulang menjelang sore hari
Tengah
malam, aku terbangun. Dari pintu kamarku, aku mendengar suara langkah yang
mencurigakan. Dengan berdebar aku mengintip dari lubang kunci. Deg. Ada tamu
tak diundang. Aku merapal doa mencari sesuatu. Aku harus berbuat sesuatu.
Entah
keberanian dari mana, aku memegang linggis yang kebetulan ada di kamarku. Aku
mendekati orang bertutup kepala yang sedang berusaha membuka pintu kamar Tante Yeni dan suamianya. Aku mengayunkan
linggis itu tepat mengenai pundak orang
bertutup kepala itu
Namaku Koko.
Kau pernah membaca novel atau menonton film Getar-Getar Cinta yang booming itu?
Novel itu karya Koko Kusuma, nama
lengkapku. Setelah kejadian pencurian di rumah Tante Yeni belasan tahun lalu itu,
aku sempat dirawat di rumah sakit karena
sobekan dari benda tajam yang dibawa orang bertutup kepala itu, aku berhasil
menggagalkan perampokan itu karena para tetangga Tante Yeni tiba-tiba
berdatangan. Sejak saat itu, Ferdy mau bersahabat denganku, teman-teman di SMA
3 juga tak lagi memanggilku Emon
Penulis : Sutono
Adiwerna. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Minggu Pagi, Tabloid Cempaka,
Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Radar,
Ummi dll
NB..cerpen ini dimuat di Minggu Pagi, koran mingguan dari Yogyakarta. Emailnya we_rock_we_rock@yahoo.co.id
Selamat ya, Koko... Eh, Mas Suto.
BalasHapusKeren nembus terus.
terimakasih mba Liza..terimakasih sudah mampir
HapusSelamat ya, Koko... Eh, Mas Suto.
BalasHapusKeren nembus terus.
sederhana tapi keren mas. aku suka aku suka.
BalasHapusAlhamdulillah...terimakasih Don..
Hapusbacanya santai dan mudah dimengerti. 😊
BalasHapusterimakasih sudah berkenan membaca dan mampir di blog ini mbak Haryati..
HapusAda sesuatu yg melekat di hati aku. Sederhana tapi manis. Cuman bisa bilang,"Oo...iya,begitu ya." Speechless. Suka, suka dan suka.Terus berkarya, Mas.
BalasHapusAlhamdulillah jika ceritanya berkesan..terimakasih banyak atas kunjungan dan apresiasinya ya mba Kavita..
BalasHapusEmailnya redaksi minggu pagi nyentrik banget ya? Hihi. Saya juga pernah sekali terbit di sana. Terus pas ambil honor, ketemu redaksinya langsung... Ramah bgt! Pengen nulis lg
BalasHapusEniwei bagus ceritanya. Ringan tapi menyentuh
terimakasih sudah mampir mba Artha..ayok nulis lagi. saya juga ingin kirim lagi. tapi kalau honor sudah cair..hihi
BalasHapus