Senja itu, langit seolah runtuh
menimpa tubuh Dahlia. Telpon yang dikiranya akan berisi ucapan selamat hari
perkawinan tahun ke delapan dari Haris sang suami yang tengah di luar kota
ternyata berisikan kabar yang membuat
semuanya menjadi gelap. Pekat. Mobil yang dikendarai Haris kinasihnya dilindas
kereta api saat super kijang yang bahkan belum lunas cicilannya itu melintas di
jalur kereta api yang tak berpalang pintu.
“Mama kenapa nangis. Ada apa
dengan Papa” suara Gio membuat Dahlia sadar telah berjam-jam bersandar di
dinding, sementara gagang telepon menggantung begitu saja
“Ada apa dengan Papa Ma” ulang
Gio lagi
“Papa sayang..Papa kecelakaan”
Bagi Dahlia Gio Pratama adalah
malaikat kecil. Gio yang membuat dirinya harus tetap tegar bertahan meski
kehilangan yang amat sangat
“Gio, Papa sudah tak ada, kini
kita tinggal berdua. Bantu Mama ya sayang, Gio harus nurut apa kata Mama”ujar
Dahlia parau
“Iya Ma, Gio janji akan menuruti
apa saja yang Mama katakan”
Dan malaikat kecilnya itu
benar-benar memenuhi janjinya. Gio penurut, bahkan sangat penurut. Saa Dahlia mengaharuskan Gio mengaji di surau
dekat rumah dia manut. Dahlia membatasi jam menonton film kartun kesukaannya
malaikat kecilnya tak banyak membantah. Hal ini tentu saja membuat Dahlia tak merasa sia-sia membanting tulang
membuka usaha katering, sesekali mengirim cerpen atau resep ke koran dan
majalah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Uang pensiun Haris berusaha tak
di otak-atik oleh Dahlia kecuali untuk keperluan sekolah Gio.
Di sekolah, Gio murid yang
cemerlang. Lebih sering menjadi bintang kelas ketimbang meringkat 2 atau 3 dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Di rumah, Gio menjadi teladan
anak-anak lainnya. Pinter di sekolah,
rajin mengaji, sopan dan ramah pada semua orang. Sebagai ibu sekaligus ayah
semenjak ditinggal Haris, tentu saja Dahlia merasa bangga bercampur bahagia.
Padahal banyak anak yatim lainnya yang
tumbuh menjadi anak liar. Ada yang terlibat perkelahian masal, ada yang terjerat narkoba, dan kenakalan
lainnya.
Gio malaikat kecilnya seolah
menurut apa yang Dahlia katakan. Apa yang Dahlia mau, apa yang Dahlia harapkan.
Belasan tahun berlalu, Dahlia
dan Gio layaknya tim kecil yang kompak. Hingga suatu hari, tepatnya setelah Gio
menerima ijazah sekola SMA-nya.
“Ma , plis, sekali ini saja Gio
ingin menuruti kata hati, bukan Mama”
“Tapi Gio, kamu pintar,
nilai-nilaimu bagus. Bahkan masuk jurusan kedokteran-pun Mama yakin Gio bisa.
Mengapa musti ngambil jurusan desain graphis?”
“Pokoknya kalau tak ngambil
desain graphis mendingan Gio tak usah kuliah. Titik “
Semua bermula dari sini. Masa
kelam, pekat saat Haris suaminya menghembuskan napas terakhir seperti terulang
kembali. Di tempat baru itu, Gio malaikat kecil bagi Dahlia mengenal dan karib
dengan Bramantio
Tentu saja Dahlia tak bepikir
macam-macam saat suatu hari, Gio, pulang ke rumah bersama Bram salah satu
dosennya di kampus. Dahlia-pun tak curiga saat dosen muda berwajah menawan
itu tak diperbolehkan Gio menempati
kamar tamu seperti tamu lainnya dan sekamar dengan anak semata wayangnya.
Dahlia pikir, toh tempat tidur Gio terbilang besar, belum lagi Gio juga
mempunyai kasur lipat yang biasa dipakai kapan saja.
Dahlia juga tak berpikir jauh
saat melihat tangan Bram kerap merangkul pundak Gio, malaikat kecilnya, Dahlia
juga tak curiga saat malalikat kecilnya membuatkan dosennya secangkir cappucino
kemudian diminum bersamaan.
Hingga suatu hari, saat Gio dan
Bram pamit ke toko buku, seperti biasanya Dahlia akan merapikan kamar malaikat kecilnya yang biasanya seperti
kapal pecah dan biasanya juga malaikat kecilnya paling malas mengunci pintu
kamar saat keluar rumah.
Begitu kamar terkuak, Dahlia
menarik napas lega karena kali ini kamar Gio terlihat lebih rapi. Sebenarnya
Dahlia hendak meninggalkan kamar begitu tahu kamar malaikat kecilnya tak lagi
seperti kapal pecah. Tapi entah mungkin naluri, Dahlia memasuki kembali kamar
Gio. Mata Dahlia menerawang setiap sudut kamar. Tiba-tiba lutut Dahlia menjadi
gemetar, kepalanya memberat. Di meja belajar
malaikat kecilnya, berserakan berkeping-keping film biru beraroma cinta
sejenis. Bergelatakan pula
beberapa karet pelindung yang biasa digunakan kaum adam. Isi perut Dahlia
teraangkat paksa. Mual pusing mendera Dahlia.
Badai
bagai berhembus melumat tubuh Dahlia. Rasanya baru saja kemarin Gio, malaikat
kecilnya itu masih berupa bayi merah. Rasanya baru kemarin anak yang
dibanggakannya memakai peci dan sarung kedodoran pulang mengaji di surai dekat rumah. Rasanya baru kemarin
malaikat kecilnya yang selalu membuat Dahlia tersenyum bahagia, bangga
memamerkan nilai-nilai ulangan atau rapotnya yang selalu gemilang. Rasanya…
Dahlia
benar-benar merasa dihimpit benda yang maha berat. Malaikat kecilnya kini
berada di persimpangan jalan menurut orang kebanyakan.
Allah bersamamu jalan tak akan buntu.
Tiba-tiba Dahlia teringat kata-kata tersebut. Kata-kata yang selalu di
dengungkan Haris suaminya bertahun-tahun lalu. Dahlia segera mengambil wudhu.
Dahlia yakin cinta dan kekuatan doa akan membawa malaikat kecilnya kembali ke
jalan lempang. Setidaknya dengan doa Dahlia berharap diberi kekuatan, ketegaran
agar bisa berbincang dari hati ke hati dengan Gio, malaikat kecilnya nanti.
*****
“Allah
Akbar. Allah Akbar. Allah Akbar ” gema takbir bersahutan. Dari masjid,
dari jalan raya, dari musalah, dari mana saja. Dahlia terpekur di atas sajadah.
Besok hari fitri. Hari yang seharusnya disambut dengan kebahagian setelah
berpuasa sebulan.
“Allah bersamamu jalan tak akan
buntu” Dahlia mengafirmasi diri agar menemukan kembali malaikat
kecilnya yang sudah berbulan bulan tak pulang ke rumah. Tak juga memberi kabar
“kringgg...” HP Dahlia berdering. Dahlia mengangkatnya. Sebuah nomor
tak dikenal memanggil
“Ma, Assalamualaikum “ Dahlia
bergetar mendengar suara yang amat ia kenal. Yang amat ia rindukan
“Walaikumsalam. Gio sehat, Gio
baik baik sajakan?”cecar Dahlia, alih-alih memaki malaikat kecilnya yang lebih
memilih meninggalkan rumah demi cinta
“Ma, Gio kangen Mama, Gio ingin
pulang ke rumah. Gio ingin kembali menjadi malaikat kecil Mama. Malaikat kecil
yang saleh dan menurut apakata Mama. Maaf lahir batin ya Ma “
“Allah bersamamu jalan tak kan
buntu”. Dahlia tersenyum. Matanya berkaca
NB. Cerpen ini dimuat di tabloid Genie. Tapi, ini versi asli sebelum diedit oleh tabloid Genie. Ohya terimakasih fotonya Mas Risman Latif
Penulis Sutono Adiwerna. Aktifis FLP Tegal, RBA Tegal. Penulis lepas, Guru Eskul Jurnalis. Sesekali mengisi pelatihan kepenulisan.
Bagus, Mas ...
BalasHapusselamat ya, sepertinya Mas Sutono memang paling cocok nulis cerpen anak.
betul. tapi ingin juga belajar genre lain, agar tak bosan
BalasHapus