Ternyata...
Oleh Sutono Adiwerna
Tak
terasa kereta Kaligung yang membawa Tegar dan ayahnya yang hendak menuju
Semarang telah jauh meninggalkan stasiun
Tegal. Kini kereta api yang mereka tumpangi berhenti di stasiun Pekalongan.
“Sudah
sampai di Semarang Yah? Kok keretanya berhenti? ”tanya Tegar dengan logat Tegal
yang kental pada ayahnya yang tengah mengantuk.
Setengah
menguap, ayah menjawab “Baru di stasiun Pekalongan”
Tegar
mengambil tahu aci buatan bundanya dari tas ransel. Tegar memang suka sekali
tengan makanan khas Tegal ini. Tahu goreng yang diatasnya diberi tepung aci ini
rasanya asin, dan gurih.
Kereta
masih berhenti di stasiun Pekalongan. Penumpang baru dari kota batik mulai berdatangan.
Terkadang menempati kursi sesuai dengan nomor yang tertera di tiket, terkadang
duduk seenaknya
Beberapa
saat kemudian kereta mulai melaju, melanjutkan perjalanan. Kursi di depan Tegar
dan ayahnya kini telah ditempati seorang lelaki setegah baya dengan anaknya
yang diperkirakan Tegar masih kelas 10 atau 11 SMA.
Tegar
terkesiap ketika melihat remaja itu mengeluarkan tangannya yang putih dari
jendela. Remaja yang wajahnya mirip Kak Aliando Syarif berkata riang
“Bapak..bapak..lihatlah tumbuhan-tumbuhan itu berjalan”
Lelaki
setengah baya disebelahnya tersenyum memandang anaknya dengan gembira. Wajahnya
berseri-seri
“Sudah
remaja kok kayak anak TK” kata Tegar di dalam hati. Mulutnya masih menikmati
gurihnya tahu aci buatan bundanya yang kali ini tak bisa ikut ke Semarang
karena ada urusan yang tak bisa ditinggal
Lagi-lagi
remaja yang wajahnya mirip Digo di
sinetron Ganteng-Ganteng Srigala itu
berteriak riang saat melihat pemandangan yang dilaluinya
“Bapak...bapak..lihat! awan itu juga mengikuti kereta ini”
“Ndeso” desis Tegar sedikit terganggu.
Disampingnya, ayah terlihat pulas sekali tidurnya
Kereta
masih terus melaju menuju kota Atlas, Semarang. Tiba-tiba langit mendadak
gelap. Awan hitam menggumpal-gumpal
terlihat dari jendela kereta. Tegar mengambil komik Detiktif Conan dari
dalam tasnya. Baru beberapa lembar komik terbaca, hujan turun deras
“Aneh”pikir
Tegar ketika mengintip dari balik komik, remaja yang wajahnya mirip artis itu tak juga memasukan tangannya seolah-olah
menikmati tangannya yang putih,bersih digerojogi air hujan
“Bapak...bapak
hujan turuun. Galih suka hujan”teriak remaja itu
Ganteng-ganteng
kok ndeso” kata Tegar masih di dalam hati. Tegar berniat membangunkan
ayahnya agar bersedia meminta Kak Aliando berhenti bertingkah seperti anak TK,
tidak jadi karena ayahnya terlihat lelah dan mengantuk sekali
“Bapak...hujannya
belum berhenti. Kapan-kapan Galih boleh main hujan-hujanan ya?”teriak remaja
itu masih seriang sebelumnya. Lelaki setengah baya di sebelahnya mengelus
rambut anaknya dengan kasih sayang
“Rrrhhtggt”Tegar
mendengus, memasukan komik Conannya ke dalam tas dengan dongkol. Tegar berusaha
memejamkan matanya. Barangkali dengan tidur seperti ayahnya, Tegar bisa
terbebas dari tingkah kampungan Kak Aliando itu
Tapi
sebelum matanya bisa terpejam, samar-samar Tegar mendengar percakapan dua orang
bapak-bapak
“Maaf,
kenapa tak Bapak bawa putra anda ke dokter atau rumah sakit agar tak aneh
seperti itu”ujar seorang bapak sedikit berbisik. Remaja bernama Galih yang sedang jadi bahan pembicaraan tak
kelihatan. Mungkin sedang ke toilet atau juga sedang berjalan-jalan keliling
gerbong kereta
Lelaki
setengah baya yang ditanya itu menjawab dengan tenang” Kami baru saja pulang
dari rumah sakit. Berkat pertolongan Allah melalui para dermawan, sekarang
Galih anak saya bisa melihat dunia dalam
hidupnya setelah mengalami kebutaan bertahun-tahun
“Degg”
Tegar terkesiap, terkejut. Perasaan
menyesal, malu datang karena beberapa menit lagi mengaanggap Kak Aliando
itu sakit gila
“Terkadang
apa yang kita lihat tak seperti kondisi sesungguhnya”kata ayah membuyarkan
lamunan Tegar.
“Termasuk,
ayah yang kelihatannya tidur nyenyak
mengamati putranya yang ganteng ni ngedumel?”tanya Tegar hati-hati
“Ha..ha..ha...”ayah
tersenyum lebar ( Radar Bojonegoro, 11 juli 2015 )
sip.. tulisan yang bagus sekali. pesannya mengena.
BalasHapusaamiin. Alhamdulillah, semoga bisa terus menulis. Terimakasih apresiasinya ya Yustia..
BalasHapuswaahh unyu mas...
BalasHapusmakasih sudah baca mba guru..ayo kapan nulis cernak lagi?
BalasHapusPesan moral yang manis. Selamat ...
BalasHapusterimakasih sudah berkunjung dan membaca cerita sederhana ini..
BalasHapuskereeen... speechless
BalasHapusTerimakasih Riska..terimakasih sudah membaca cerita ini
BalasHapus