Aku membersihkan satu demi satu buku yang berjajar rapi
di rak berwarna coklat dari kayu jati. Ada seruak bangga menyusup di hati kecilku. Bayangkan
dari puluhan buku yang berbaris di rak itu, sebagian besar karyaku buah imajinasiku baik berupa novel, antologi
cerpen hingga kumpulan esai. Yang sebagian besar pernah menghiasi berbagai media.
Tiba-tiba ponselku berdering:
“Assalamu’alaikum” kata suara di ujung telepon.
“Wa’alaikumsalam”
“Mas Bayu, kami dari MJ Entertainment, bermaksud
mengadaptasi novel Getar Kasih menjadi sebuah film"
“Tidakkah saya salah dengar?” tanyaku meyakinkan
“Serius Mas, boleh kan?”
“Oke. Asal tidak melenceng jauh dari versi novelnya”
“Terima kasih ya, nanti kami akan bersilaturahmi ke
rumah anda untuk pembahasan lebih lanjut"
Gubraks ….. tubuhku terlempar dari dipan reflek tangan
ku mencari, meraba,menggapai-gapai rak buku. Buku-buku karyaku, ponselku. Tapi
nihil, tak ada rak buku, novel dan antalogi cerpen hasil karyaku apalagi ponsel
terbaru. Yang ada cuma hanya sebuah novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari, yang aku pinjam dari perppusda.
Mimpikah aku? aku
telah menginjakkan kaki di Jakarta?
Aku telah
jauh meninggalkan kota kecilku? tidak, aku tidak
mimpi. Hari ini di pagi yang cerah,
aku Bayu Samudra diundang suatu lembaga
untuk mendapatkan penghargaan bergengsi. Dengan semangat empat lima aku
bergegas menuju lokasi dimana tempat pemberian anugrah untuk buku-buku yang
laris plus punya nilai terpuji itu dilaksanakan. Aku tak mau sampai terlambat
kelokasi. Sesampainya disana, acara memang belum dimulai, tapi disana telah
hadir hampir seluruh kandidat penerima penghargaan. Di sana kutemui wajah Asma
Nadia, Arswendo Atmowiloto, Afifah Afra, Tasaro, penulis adapula penulis cilik
yang sekarang remaja Abdurahman Faiz
Sebelum aku jadi penulis aku suka karya-karya mereka dan
inspirasi untuk menulis dan menulis kerap aku dapat setelah aku mengakrabi
tulisan mereka. Asma Nadia aku
belajar dari kumpulan cerpen berjudul Dialog Dua Layar, Afifah Afra aku akrabi
lewat novelnya Bulan Mati di Javache Orange, Tasaro dengan Pitalokanya, Faiz
yang selalu bisa membuat mataku panas
menahan tangis aku kenal lewat buku untuk Guruku Matahari, Sinta Yudisia aku
kenal Indra Keenam.
Dulu, mereka bagiku sebagai mercusuar. Membayangkan
bertemupun tak pernah terlintas dibenak. Eh, sekarang aku bersijajar dengan
mereka untuk mendapatkan penghargaan.
Sekali lagi aku bersyukur tinggal dirumah yang dekat
dengan perpustakaan. Karena kalau tidak, darimana aku bisa membaca buku-buku
mereka. Harga buku melangit sementara Emakku hanya buruh nyuci. Dari
perpustakaan itulah aku mengakrabi tulisan-tulisan mereka yang ternyata tidak
hanya bagus tetapi juga membuat aku terpecik untuk bisa menjadi penulis.
Tiba-tiba ada yang dingin membuat aku terjaga.
Sekonyong-konyong aku bertenak memanggil nama Asma Nadia, Afifah Afra, Faiz, Tasaro,
Sinta Yudisia, Mas Wendo dan Faiz. Tapi, mereka hilang, mereka menjauh, yang
tersisa hanya lembaran folio, pulpen dan kumpulan cerpen Dialog Dua Layar karya
Asma Nadia yang lagi-lagi aku pinjam dari perpusda. Rupanya percikan itu bukan
hanya percikan semangat dari penulis profitik tersebut
tapi juga dan air yang dipercikan Emak kewajahku. Ini kebiasaan Emak kalau aku
susah dibangunkan.
“Ya Emak gak jadi deh Bayu dapetin penghargaan sebagai penulis terpuji” kataku
sambil menguap, menahan kantuk.
“ Penulis Terpujji opo?”
“Itu lho mak, penghargaan khusus bagi para penulis yang
bukunya laris plus isinya bagus dan inspiratif.”
“Le…le..”Emak geleng-geleng kepala “Kamu ini,
pelayan toko bangunan bukan penulis apalagi dapat apa tadi? Penghargaan Penulis
Terpuji ? Wis ojo ngimpi sana wudhu, tahajud. Nanti waktu subuh keburu
datang.”
Sejak Bapak tiada, Emak bekerja ekstra keras. Emak
bangun pagi-pagi sekali. Disaat orang lain tertidur pulas berliau sudah berada
di dapur untuk memasak, dan menyiapkan dagangan. Emak memang berjualan nasi
lengko setiap pagi. Siang harinya setelah nasi lengkonya habis, Emak bekerja serabutan. Apa saja. Mulai dari buruh nyuci, buruh tani, kadang kala
Emak diminta sinoman ke tetangga yang menggelar hajatan. Emak memang
dianugerahi Allah tenaga yang kuat dan jarang sakit. Sehingga apapun Emak
lakukan demi melihat aku terus sekolah .
Aku beruntung dilahirkan dari rahim Emak, meskipun ia
tidak bisa tulis alias buta huruf, ia selalu mendukung keinginanku untuk terus
bersekolah, semangat Emaklah yang membuat aku terlecut untuk terus dan terus
sekolah meskipun untuk itu, aku sering malu, menahan tangis karena sering
ditegur guru karena sering telat membayar SPP.
Bagiku Emak adalah wanita terhebat dan terbaik di seluruh
jagad raya. Emak tak pernah membentak apalagi memukul meski tak sakit. Padahal
aku sering menunda apabila disuruh sesuatu oleh Emak, membantah apabila
diperintah karena keasyikan membaca buku.
Emak pula yang menguatkan aku ketika aku tak kunjung
mendapatkan pekerjaan setelah lulus SLTA. Sudah menjadi rahasia umum angka
kelulusan yang lebih besar tak sebanding dengan jumlah pangan kerja yang
tersedia. Berkat Emak pula aku diterima sebagai pelayan toko besi dan bangunan
yang kebetulan sering memakai jasa Emak
Waktu terus bergulir kini aku benar-benar jadi penulis,
novel-novel, kumpulan cerpenku bertebaran di mana-mana, aku kerap jadi pembicara
di Talk Show kepenulisan, bahkan beberapa PH terkenal berniat mengangkat salah
satu novel Best Sellerku kedalam film
dan sinetron. Tentu saja aku harus selektif aku tak mau aji mumpung
seperti artis sinetron sekarang yang
bisa main 4 sinetron dalam waktu bersamaan, nyanyi, model iklan tapi beberapa tahun atau dalam
hitungan bulan namanya hilang bak
ditelan bumi.
Entah karena jam terbang atau memang telah bosan dengan
menulis yang sekedarnya, novel-novelku yang terbit belakangan menurut para
kritikus semakin berbobot dan detail. Untuk sebuah novel aku memang selalu
menyertakan segi sosiologi, antropologis sehingga cerita lebih hidup.
Karena novel
terbaruku, malam ini aku berada di lobbi sebuah hotel berbintang untuk
berdiskusi, berdialog tentang Segi Sosiologi Sastra Indonesia. Tidak
tanggung-tanggung aku bersebelahan dengan pendekar cerpen Hamsad
Rangkuti, Jhoni Ariadinata, Helvi tiaana Rosa dan tentu saja Korrie Layun Rampan. Sedapat mungkin
aku menahan butiran bening agar tidak sampai jatuh ke pipi. Siapa yang tak
bangga dan haru, aku anak desa, sekolah cuma SLTA disejajarkan dengan
penulis-penulis hebat negeri ini. Nama mereka kerap membawa nama Indonesia
sampai ke negeri tetangga.
Hamsad Rangkuti dengan bukunya Bibir Dalam Pispot, Lukisan Perkawinan, Cemara telah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa, belum lagi novelnya ketika Lampu Berwarna
Merah yang sempat memenangkan sayembara kepenulisan Roman Dewan kesenian
Jakarta.
Korrie Layun rampan terkenal dengan novelnya Upacara, Percintaan Angin, Malam Putih,
Kekasih, Perjalanan dan Guru Sejarah. Selain novelis, beliau piawai menulis
esai, puisi, dan telaten mendokumentasikan
Sastrawan, Sastrawati, baik yunior maupun senior. Saat usianya 55 tahun beliau bahkan
telah menulis kurang lebih sekitar 300 buku.
Jhoni Ariadinata dikenal sebagai sastrawan yang mahir mengutak-atik cerpen karya
orang lain. Jauh sebelum jadi penulis beliau pernah berprofesi sebagai tukang
becak, pengamen, buruh banguanan. Sebelum karyanya tembus media, Mas Joni harus
bersabar menunggu sampai 500 cerpen yang ia kirim, hingga ditahun 1994
cerpennnya yang bertajuk Lampor dimuat di harian kompas serta
mendapatkan anugerah sebagai cerpen terbaik di harian dan tahun yang sama.
Bukunya Malaikat Tak Datang Pada Malam Hari mendapatkan Pena Award. Buku
lainnya Aku bisa Nulis Cerpen 1 dan 2 mendapat respon positif dari khalayak.
Helvi Tiana Rossa disebut-sebut koran tempo sebagai lokomotif penulis muda Indonesia.
Pemprakarasa berdirinya FLP (Lembaga
Pengkaderan Penulis Muda) telah menghasilkan buku yang laris dipasaran
seperti Ketika Mas Gagah Pergi, Risalah Cinta, SegenggamGumam, Akira, Bukan
dari Negeri Dongeng dan lain-lain.
Cerpennya HTR demikian biasa Helvy dipanggil, Jaring-Jaring Merah merupakan cerpen terbaik
majalah Horizon, periode 1990-2000, bukunya Lelaki Kabut dan Boneka telah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Cita-citanya untuk mengenalkan Sastra
Islami ke negara Paman Sam ke negara Bush telah tercapai di tahun 2005 lalu.
“Mas paku usuk sekilo.” suara pembeli membuyarkan mimpi
indahku
“Piro…?” lanjut
orang itu.
“Tiga belas ribu Pak" jawabku menahan malu.
“Ngantuk ya Mas”
“Inggih Pak” Hah … aku menutup mulutku yang
menguap dengan buku Suara Pancaran Sastra yang karya Korrie Layun rampan yang diterbitkan Yayasan Arus pada tahun 1984.
Buku ini aku beli di pasar loak, alun-alun kota Tegal enam bulan lalu.
Awalnya Emak kurang setuju akan keseriusanku untuk
menjadi seorang penulis. Emak tak mau aku mempunyai keinginan seperti
Pungguk Merindukan Bulan.
Maklum selain pendidikan yang cuma pas-pasan, aku ini orang miskin
dan cuma anak daerah. Emak tak mau anaknya alih-alih jadi penulis beneran eh
malah kesurupan.
Tapi setelah aku yakinkan dengan menyebut penulis dan
sastrawan besar yang berasal tak be
punya, minim akademis dan tinggal didaerah. Beliau adalah D. Zawawi
Imron dari Madura yang terkenal dengan bukunya Madura Akulah Lautmu, Madura
Akulah Darahmu, Bulan Tertusuk Ilalang. Aku ceritakan pada Emak bagaimana
beliau yang cuma tamat SD bisa menjadi Sastrawan besar negeri ini. Waktu kecil
D. Zawawi Imron harus berjalan kilo-kilometer dari desanyaBatang-batang ke kota
karesidenan hanya untuk membaca koran dan buku-buku yang terdapat
diperpustakaan karesidenan tersebut. Tekanan ekonomi dan lambatnya informasi
tidak mampu membendung minat belajarnya yang begitu tinggi maka tak heran
Zawawi Imron menjelma menjadi Sastrawan yang komplit yakni penyair, kolumnis,
penulis, dosen dan mubaliq.
“Le…Emak akan mendukung apapun yang membuat kamu senang,
bahagia.”
Setiap malam
menampakkan wujudnya, disebuah rumah berlantai tanah dengan penerangan
seadanya. Seorang pemuda, menari- narikan penanya di secarik kertas folio.
Pemuda itu memindahkan ide dan imajinasinya kedalam sebuah tulisan. Meski harus
melawan penat, kantuk karena dipagi harinya pemuda itu telah bekerja seharian
penuh sebagai pelayan toko ISMA LOGAM. Ditemani teh dan kue ala kadarnya yang disuguhkan sang ibu, pemuda itu menjemput
impian untuk menjadi penulis handal.
Susah
payah pemuda itu mengubah huruf menjadi kata, kata menjelma kalimat disulap
menjadi paragraf demi paragraf hingga lahirlah beberapa cerpen dari pemuda itu,
dan pemudia itu adalah aku Bayu Samudra
Setelah diketik di rental komputer terdekat, aku mulai mencoba
mengirimkan karya-karyaku ke media massa entah lokal maupun nasional
“Mas cerita anda kepanjangan, bisa
dibuat lebih pendek nggak.” demikian kata redaktur fiksi koran lokal ketika aku
menyambangi kantor koran
tersebut. Tanpa bermaksud menyepelekan koran lokal tersebut akhirnya aku
kirimkan cerpen kemajalah remaja Nasional.
Seminggu, sebulan hingga
berbulan-bulan aku berharap karyaku dimuat dimedia masa. Tapi harapan tiggal harapan selalu saja yang
dimuat penulis- penulis yang telah punya nilai jual alias penulis yang
terkenal. Tapi baja telah terlanjur melekat Aku ingat kembali bagaimana seorang
Thomas Alfa Edison melakukan 1000 kali percobaan untuk menciptakan sebuah lampu
saat aku mengetahui kalau cerpenku tertera di daftar cerpen yang tidak layak muat di sebuah majalah remaja. Aku bangkitkan kembali semangat
dengan membaca buku yang memuat kisah dan proses kreatif seorang Jhoni
Ariadinata. Beliau sabar menunggu hingga 500 kali baru cerpenya Lampor bisa dimuat di harian Kompas.
Saat pak pos mengembalikan karya yang aku kirimkan, aku pompa semangatku dengan
berkaca pada Ratna Indaswari Ibrahim
dan Pipit Senja. Ratna Indaswari menderita penyakit yang membuat
tubuhnya semakin mengecil. Pipit Senja mengidap thalesimia yang
mengharuskan ia cuci darah setiap bulannya Tapi mereka tak menyerah mereka
terus menulis hingga bermanfaat bagi sesamanya .
Hingga suatu hari aku mendapat surat dari redaksi
majalah remaja yang bertuliskan kami bersedia memuat cerpen anda dengan catatan
dirvisi ulang lagi.
Bagai mendapat ribuan energi baru, dengan semangat baru
aku baca cerpen yang dikembalikan dengan seksama, berulang-ulang mencari kalimat rancu, kata yang sama dan lain
sebagainya
Disudut ruangan lain seorang perempuan separuh baya
memperhatikan anak semata wayangnya dengan mata basah
“Le….gusti Allah ora turu, gusti Allah weruh,
suatu saat gusti Allah akan menjawab usahamu Le…” serunya lirih parau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar