Sabtu, 22 Juni 2013

Bukan Mimpi yang Terpenggal. Cerpen Pertama yg Saya buat ( thn 2008 )


Aku membersihkan satu demi satu buku yang berjajar rapi di rak berwarna coklat dari kayu jati. Ada seruak  bangga menyusup di hati kecilku. Bayangkan dari puluhan buku yang berbaris di rak itu, sebagian besar karyaku buah  imajinasiku baik berupa novel, antologi cerpen hingga kumpulan esai. Yang sebagian besar pernah menghiasi berbagai media. Tiba-tiba ponselku berdering:
“Assalamu’alaikum” kata suara di ujung telepon.
“Wa’alaikumsalam”
“Mas Bayu, kami dari MJ Entertainment, bermaksud mengadaptasi novel Getar Kasih menjadi sebuah film"
“Tidakkah saya salah dengar?” tanyaku meyakinkan
“Serius Mas, boleh kan?”
“Oke. Asal tidak melenceng jauh dari versi novelnya”
“Terima kasih ya, nanti kami akan bersilaturahmi ke rumah anda untuk pembahasan lebih lanjut"
   
Gubraks ….. tubuhku terlempar dari dipan reflek tangan ku mencari, meraba,menggapai-gapai rak buku. Buku-buku karyaku, ponselku. Tapi nihil, tak ada rak buku, novel dan antalogi cerpen hasil karyaku apalagi ponsel terbaru. Yang ada cuma hanya sebuah novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang aku pinjam dari perppusda.

 Mimpikah aku? aku telah menginjakkan kaki di Jakarta?
  Aku telah jauh meninggalkan kota kecilku? tidak, aku tidak mimpi. Hari ini di pagi yang cerah,  aku Bayu Samudra diundang suatu lembaga  untuk mendapatkan penghargaan bergengsi. Dengan semangat empat lima aku bergegas menuju lokasi dimana tempat pemberian anugrah untuk buku-buku yang laris plus punya nilai terpuji itu dilaksanakan. Aku tak mau sampai terlambat kelokasi. Sesampainya disana, acara memang belum dimulai, tapi disana telah hadir hampir seluruh kandidat penerima penghargaan. Di sana kutemui wajah   Asma Nadia, Arswendo Atmowiloto, Afifah Afra, Tasaro, penulis adapula penulis cilik yang sekarang remaja Abdurahman Faiz

Sebelum aku jadi penulis aku suka karya-karya mereka dan inspirasi untuk menulis dan menulis kerap aku dapat setelah aku mengakrabi tulisan mereka. Asma Nadia aku belajar dari kumpulan cerpen berjudul Dialog Dua Layar,  Afifah Afra aku akrabi lewat novelnya Bulan Mati di Javache Orange, Tasaro dengan Pitalokanya, Faiz yang selalu bisa membuat mataku panas menahan tangis aku kenal lewat buku untuk Guruku Matahari, Sinta Yudisia aku kenal Indra Keenam.
Dulu, mereka bagiku sebagai mercusuar. Membayangkan bertemupun tak pernah terlintas dibenak. Eh, sekarang aku bersijajar dengan mereka untuk mendapatkan penghargaan.

Sekali lagi aku bersyukur tinggal dirumah yang dekat dengan perpustakaan. Karena kalau tidak, darimana aku bisa membaca buku-buku mereka. Harga buku melangit sementara Emakku hanya buruh nyuci. Dari perpustakaan itulah aku mengakrabi tulisan-tulisan mereka yang ternyata tidak hanya bagus tetapi juga membuat aku terpecik untuk bisa menjadi penulis.

Tiba-tiba ada yang dingin membuat aku terjaga. Sekonyong-konyong aku bertenak memanggil nama Asma Nadia, Afifah Afra, Faiz, Tasaro, Sinta Yudisia, Mas Wendo dan Faiz. Tapi, mereka hilang, mereka menjauh, yang tersisa hanya lembaran folio, pulpen dan kumpulan cerpen Dialog Dua Layar karya Asma Nadia yang lagi-lagi aku pinjam dari perpusda. Rupanya percikan itu bukan hanya percikan semangat dari penulis profitik tersebut tapi juga dan air yang dipercikan Emak kewajahku. Ini kebiasaan Emak kalau aku susah dibangunkan.

“Ya Emak gak jadi deh Bayu  dapetin  penghargaan sebagai penulis terpuji” kataku sambil menguap, menahan kantuk.
“ Penulis Terpujji opo?”
“Itu lho mak, penghargaan khusus bagi para penulis yang bukunya laris plus isinya bagus dan inspiratif.”

Le…le..”Emak geleng-geleng kepala “Kamu ini, pelayan toko bangunan bukan penulis apalagi dapat apa tadi? Penghargaan Penulis Terpuji ? Wis ojo ngimpi sana wudhu, tahajud. Nanti waktu subuh keburu datang.”

Sejak Bapak tiada, Emak bekerja ekstra keras. Emak bangun pagi-pagi sekali. Disaat orang lain tertidur pulas berliau sudah berada di dapur untuk memasak, dan menyiapkan dagangan. Emak memang berjualan nasi lengko setiap pagi. Siang harinya setelah nasi lengkonya habis, Emak bekerja serabutan. Apa saja.  Mulai dari buruh nyuci, buruh tani, kadang kala Emak diminta sinoman ke tetangga yang menggelar hajatan. Emak memang dianugerahi Allah tenaga yang kuat dan jarang sakit. Sehingga apapun Emak lakukan demi melihat aku terus sekolah .

Aku beruntung dilahirkan dari rahim Emak, meskipun ia tidak bisa tulis alias buta huruf, ia selalu mendukung keinginanku untuk terus bersekolah, semangat Emaklah yang membuat aku terlecut untuk terus dan terus sekolah meskipun untuk itu, aku sering malu, menahan tangis karena sering ditegur guru karena sering telat membayar SPP.

Bagiku Emak adalah wanita terhebat dan terbaik di seluruh jagad raya. Emak tak pernah membentak apalagi memukul meski tak sakit. Padahal aku sering menunda apabila disuruh sesuatu oleh Emak, membantah apabila diperintah karena keasyikan membaca buku.
Emak pula yang menguatkan aku ketika aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah lulus SLTA. Sudah menjadi rahasia umum angka kelulusan yang lebih besar tak sebanding dengan jumlah pangan kerja yang tersedia. Berkat Emak pula aku diterima sebagai pelayan toko besi dan bangunan yang kebetulan sering memakai jasa Emak

Waktu terus bergulir kini aku benar-benar jadi penulis, novel-novel, kumpulan cerpenku bertebaran di mana-mana, aku kerap jadi pembicara di Talk Show kepenulisan, bahkan beberapa PH terkenal berniat mengangkat salah satu novel Best Sellerku kedalam film  dan sinetron. Tentu saja aku harus selektif aku tak mau aji mumpung seperti artis sinetron sekarang  yang bisa main 4 sinetron dalam waktu bersamaan, nyanyi, model iklan tapi beberapa tahun atau dalam hitungan bulan namanya hilang bak ditelan bumi.

Entah karena jam terbang atau memang telah bosan dengan menulis yang sekedarnya, novel-novelku yang terbit belakangan menurut para kritikus semakin berbobot dan detail. Untuk sebuah novel aku memang selalu menyertakan segi sosiologi, antropologis sehingga cerita lebih  hidup.

            Karena novel terbaruku, malam ini aku berada di lobbi sebuah hotel berbintang untuk berdiskusi, berdialog tentang Segi Sosiologi Sastra Indonesia. Tidak tanggung-tanggung aku bersebelahan dengan pendekar cerpen Hamsad  Rangkuti, Jhoni Ariadinata, Helvi tiaana Rosa dan tentu saja Korrie Layun Rampan. Sedapat mungkin aku menahan butiran bening agar tidak sampai jatuh ke pipi. Siapa yang tak bangga dan haru, aku anak desa, sekolah cuma SLTA disejajarkan dengan penulis-penulis hebat negeri ini. Nama mereka kerap membawa nama Indonesia sampai ke negeri tetangga.
Hamsad Rangkuti dengan bukunya Bibir Dalam Pispot, Lukisan Perkawinan, Cemara telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, belum lagi novelnya ketika Lampu Berwarna Merah yang sempat memenangkan sayembara kepenulisan Roman Dewan kesenian Jakarta.

Korrie Layun rampan terkenal dengan novelnya Upacara, Percintaan Angin, Malam Putih, Kekasih, Perjalanan dan Guru Sejarah. Selain novelis, beliau piawai menulis esai, puisi, dan telaten mendokumentasikan Sastrawan, Sastrawati, baik yunior maupun senior. Saat usianya 55 tahun beliau bahkan telah menulis kurang lebih sekitar 300 buku.

Jhoni Ariadinata dikenal sebagai sastrawan yang mahir mengutak-atik cerpen karya orang lain. Jauh sebelum jadi penulis beliau pernah berprofesi sebagai tukang becak, pengamen, buruh banguanan. Sebelum karyanya tembus media, Mas Joni harus bersabar menunggu sampai 500 cerpen yang ia kirim, hingga ditahun 1994 cerpennnya yang bertajuk Lampor dimuat di harian kompas serta mendapatkan anugerah sebagai cerpen terbaik di harian dan tahun yang sama. Bukunya Malaikat Tak Datang Pada Malam Hari mendapatkan Pena Award. Buku lainnya Aku bisa Nulis Cerpen 1 dan 2 mendapat respon positif dari khalayak.
Helvi Tiana Rossa disebut-sebut koran tempo sebagai lokomotif penulis muda Indonesia. Pemprakarasa berdirinya FLP (Lembaga Pengkaderan Penulis Muda) telah menghasilkan buku yang laris dipasaran seperti Ketika Mas Gagah Pergi, Risalah Cinta, SegenggamGumam, Akira, Bukan dari Negeri Dongeng dan lain-lain.

Cerpennya HTR demikian biasa Helvy dipanggil,  Jaring-Jaring Merah merupakan cerpen terbaik majalah Horizon, periode 1990-2000, bukunya Lelaki Kabut dan Boneka telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Cita-citanya untuk mengenalkan Sastra Islami ke negara Paman Sam ke negara Bush telah tercapai di tahun 2005 lalu.

“Mas paku usuk sekilo.” suara pembeli membuyarkan mimpi indahku
 “Piro…?” lanjut orang itu.
“Tiga belas ribu Pak"  jawabku menahan malu.
“Ngantuk ya Mas”
Inggih Pak” Hah … aku menutup mulutku yang menguap dengan buku Suara Pancaran Sastra yang karya Korrie Layun rampan yang diterbitkan Yayasan Arus pada tahun 1984. Buku ini aku beli di pasar loak, alun-alun kota Tegal enam bulan lalu.

Awalnya Emak kurang setuju akan keseriusanku untuk menjadi seorang penulis. Emak tak mau aku mempunyai keinginan seperti Pungguk  Merindukan Bulan.
Maklum selain pendidikan yang cuma pas-pasan, aku ini orang miskin dan cuma anak daerah. Emak tak mau anaknya alih-alih jadi penulis beneran eh malah kesurupan.

Tapi setelah aku yakinkan dengan menyebut penulis dan sastrawan besar yang berasal tak be punya, minim akademis dan tinggal didaerah. Beliau adalah D. Zawawi Imron dari Madura yang terkenal dengan bukunya Madura Akulah Lautmu, Madura Akulah Darahmu, Bulan Tertusuk Ilalang. Aku ceritakan pada Emak bagaimana beliau yang cuma tamat SD bisa menjadi Sastrawan besar negeri ini. Waktu kecil D. Zawawi Imron harus berjalan kilo-kilometer dari desanyaBatang-batang ke kota karesidenan hanya untuk membaca koran dan buku-buku yang terdapat diperpustakaan karesidenan tersebut. Tekanan ekonomi dan lambatnya informasi tidak mampu membendung minat belajarnya yang begitu tinggi maka tak heran Zawawi Imron menjelma menjadi Sastrawan yang komplit yakni penyair, kolumnis, penulis, dosen dan mubaliq.

“Le…Emak akan mendukung apapun yang membuat kamu senang, bahagia.”
 Setiap malam menampakkan wujudnya, disebuah rumah berlantai tanah dengan penerangan seadanya. Seorang pemuda, menari- narikan penanya di secarik kertas folio. Pemuda itu memindahkan ide dan imajinasinya kedalam sebuah tulisan. Meski harus melawan penat, kantuk karena dipagi harinya pemuda itu telah bekerja seharian penuh sebagai pelayan toko ISMA LOGAM. Ditemani teh dan kue ala kadarnya yang disuguhkan sang ibu, pemuda itu menjemput impian untuk menjadi penulis handal.

            Susah payah pemuda itu mengubah huruf menjadi kata, kata menjelma kalimat disulap menjadi paragraf demi paragraf hingga lahirlah beberapa cerpen dari pemuda itu, dan pemudia itu adalah aku Bayu Samudra

Setelah diketik di rental komputer terdekat, aku mulai mencoba mengirimkan karya-karyaku ke media massa entah lokal maupun nasional

“Mas cerita anda kepanjangan, bisa dibuat lebih pendek nggak.” demikian kata redaktur fiksi koran lokal ketika aku menyambangi kantor koran tersebut. Tanpa bermaksud menyepelekan koran lokal tersebut akhirnya aku kirimkan cerpen kemajalah remaja Nasional.

Seminggu, sebulan hingga berbulan-bulan aku berharap karyaku dimuat dimedia masa. Tapi harapan tiggal harapan selalu saja yang dimuat penulis- penulis yang telah punya nilai jual alias penulis yang terkenal. Tapi baja telah terlanjur melekat Aku ingat kembali bagaimana seorang Thomas Alfa Edison melakukan 1000 kali percobaan untuk menciptakan sebuah lampu saat aku mengetahui kalau cerpenku tertera di daftar cerpen yang tidak layak muat di sebuah majalah remaja. Aku bangkitkan kembali semangat dengan membaca buku yang memuat kisah dan proses kreatif seorang Jhoni Ariadinata. Beliau sabar menunggu hingga 500 kali baru cerpenya Lampor bisa dimuat di harian Kompas. Saat pak pos mengembalikan karya yang aku kirimkan, aku pompa semangatku dengan berkaca pada Ratna Indaswari Ibrahim dan Pipit Senja. Ratna Indaswari menderita penyakit yang membuat tubuhnya semakin mengecil. Pipit Senja mengidap thalesimia yang mengharuskan ia cuci darah setiap bulannya Tapi mereka tak menyerah mereka terus menulis hingga bermanfaat bagi sesamanya .

Hingga suatu hari aku mendapat surat dari redaksi majalah remaja yang bertuliskan kami bersedia memuat cerpen anda dengan catatan dirvisi ulang lagi.

Bagai mendapat ribuan energi baru, dengan semangat baru aku baca cerpen yang dikembalikan dengan seksama, berulang-ulang mencari kalimat rancu, kata yang sama dan lain sebagainya

Disudut ruangan lain seorang perempuan separuh baya memperhatikan anak semata wayangnya dengan mata basah

Le….gusti Allah ora turu, gusti Allah weruh, suatu saat gusti Allah akan menjawab usahamu Le…” serunya lirih parau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna