Warsih
mengarahkan bola mata keluar jendela dewi. Dewi
sri jurusan Tegal-Jakarta telah membawanya masuki wilayah brebes. Tepatnya
di pasar bawang klampok. Pasar yang diapit areal pesawahan yang luas menghampar
kelihatan penuh sesak. Ada yang sedang menimbang bawang., mengikat bawang , ada
pula yang sedang tawar menawar dengan tengkulak. Yang menyita perhatian ialah
sekelompok anak kecil yang sedang mengais sisa-sisa bawang yang tercecer.
Warsih teringat masa kanaknya. Kau saja Warsih bisa mengembalikan diri kemasa
kecilnya., Warsih ingin tetap abadi menjadi Warsih kecil. Karena dimasa itulah keriangan
demi keriangan dilalui.
****
Hari itu.
Setelah empat puluh hari meninggalnya bapak, emak kedatangan tamu seorang
wanita paroh baya. Kaos hijau menyala membungkus kete lekuk tubuh suburnya.
Rambutnya keriting paling muktahir. Lipstiknya merah menyala berpadu dengan
bedak tebal menutupi garis-garis ketuannya. Warsih sendiri baru kali ini
melihat wanita yang lebih mirip toko emas berjalan tersebut .
“Enok kesini emak mau ngomong”
“Sebentar ya mak, Warsih ganti baju
dulu”
“Y a.sana. T api aja suwe-suwe. Yu Kamsah sudah menunggu
kamu sejak tadi.”
Warsih memasuki kamarnya yang hanya
terlindung tirai bergambar kembang sepatu. Warnanya kuning kusam. Digantinya
seragam biru putihnya dengan kaos oblong dipadakan dengan rok selutut yang
berwarna kelabu.
” Sih” Yu Kamsah
akan mengajakmu bekerja. Gajinya besar. Tidak pakai rupiah tapi ringgit yang
nilainya jauh lebih besar. Iya kan Yu? ‘’ kata emak semangat.
“ bekerja” pekik
Warsih kaget “ tapi warsih kan masih
sekolah” lanjut Warsih
“Sekolah kan mengelurkan biaya yang tidak
sedikit. Apalagi adikmu masih kecil-kecil. Apa kowen ora melas karo emakmu” Yu Kamsah
tiba-tiba bersuara
‘’Enok
kesempatan tidak datang dua kali. Kalau tidak sama kamu pada siapa lagi emak
minta tolong” mata emak berkaca-kaca. Ada
pengharapan disana
Begini saja sih.
Kalau kamu bersedia nati kamu dan adik kamu, yu kamsah ajak kamu ke BP (
Banjaran Permai) disana kamu boleh pilih baju sesukamu”. Bujuk Yu Kamsah lagi.
BP atau Banjaran
Permai adalah swalayan yang berdiri
di tengah-tengah jalur kota
ini. Memang tak pernah sepi pengunjung. Selain letaknya strategis, BP juga
mempunyai mutu yang sama baiknya dari segi barang yang sediakan maupun dari
segi pelayanan.
Entah sudah
berapa kali Warsih ke BP. Puluhan mungkin kerena secara kebetulan letaknya cuma
beberapa meter dari sekolah tempat Warsih belajar. Meski sering ke BP bukan
berarti Warsih sering pula belanja seperti pengunjung BP lainya . Warsih hanya
melihat-lihat. Kalau pun membeli biasanya cuma sabun mandi, odol, atau beberapa
bungkus mie instant.
Sekarang ada
orang yang berbaik hati membelikan baju dari outlet yang ada di BP. Biasanya,
paling banter baju- baju yang Warsih kenakan di beli dari kios emperan toko
itupun setahun sekali pas lebaran. Sekarang Bapak sudah tak ada. Siapa yang
akan memenuhi kebutuhan sandang dirinya dan kedua adiknya.
"Keputusan
di tanganmu nok, emak tak berhak
memaksamu. Karena kamu yang akan menjalani. Tapi, berpuluh-puluh bahkan ratusan
orang ingin bekerja di luar negri mereka rela mengeluarkan uang ratusan hingga
jutaan rupiah. Sedang kamu gratis...tis". Kata mak Saedah memecah
kebisuan.
Warsih diam
menerawang kelangit-langit rumah. Dilihatnya genteng- genteng yang tak
berternit. Warnanya kusam. Di sana
sini terdapat lubang- lubang kecil yang kalau musim hujan airnya bisa menerobos
bebas. Demikian juga dindingnya banyak yang terkelupas rnenampakan batu bata.
Semuanya minta di perbarui. Kalau hanya mengandalkan penghasilan emak dari
buruh di pabrik teh tidak mungkin cukup.
Untuk makan saja susah. Belum lagi biaya sekolah dua adiknya. Warsiti dan
Warsito.
“Bagaimana Sih ,
gelem apa ora kalau tidak mau katakana. Jangan sungkan-sungkan biar saya segera
mencari orang lain” desak Yu Kamsah.
Warsih
mengangguk ragu. Warsih bingung sebab beberapa bulan lagi ujian akan
dilaksanakan. Sebagai siswa kelas tiga otomatis Warsih tercatat sebagai peserta
UN. Tapi kondisi keluarga menuntut uluran tangan sebagai anak sulung.
“Nah begitu,
namanya anak yang berbakti “ Yu Kamsah girang alang kepalang.
Besok pagi kita
BP untuk belanja keperluanmu Warsih.Malamnya baru kita berangkat biar kita
sampai di Jakarta pagi- pagi. Soalnya yang bersangkutan janji jemput kamu jam 8
pagi.
“Warsih, minggu
kemarin kamu belum mengisi uang kas kelas. Jadi kamu harus mem bayar dua ribu
sama kas minggu ini". Kata Wati ketus seraya menyodorkan buku kas kelas.
"Maaf Wat, aku tidak punya uang lagi. Aku cuma punya
uang seribu itupun buat ongkos pulang".
"Payah kamu.
Masa dua ribu aja kamu tak punya"
Warsih menunduk
dalam. Seandainya, Wati tahu kalau untuk sampai ke sekolah saja Warsih harus
mengilokan kertas bekas ulangan atau fotokopian materi pelajaran yang sudah
tidak terpakai kepada yu Lasmi penjual nasi bungkus tetangganya.
"Seribu,
tak apa- apa wis
daripada tidak sama sekali"
"Tapi............."
"Tidak ada
tapi -tapian. Peraturan harus tetap di tegakan masalah kamu pulang jalan kaki
kek, ngesot kek, itu bukan urusan saya". Paksa Wati.
Kejadian seperti
itu memang kerap dialami Warsih. Saat ujian semesteran misalnya, Warsih
terpaksa mengantri dan berdesakan bersama puluhan siswa lainnya untuk
mendapatkan kartu sernentara sebagai syarat untuk bisa menigkuti ujian semesteran.
Terkadang Warsih bertanya apakah yang
berhak pandai, pinter cuma orang- orang kaya?.
Mengingat itu
membuat Warsih makin mantap untuk meyambut ajakan Yu Kamsah
****
Di perjalanan
menuju ibukota, Yu Kamsah tak henti- hentinya berpesan agar Warsih di ganti
namanya menjadi Asih. Umur di ubah menjadi sembilan belas bukan lima belas tahun.
Domisili diubah menjadi Brebes bukan Tegal lagi. Tapi, kebingungan Warsih
dikalahkan niatnya untuk merubah nasib. Dikhayalkanya, rumah Warsih tak bocor
lagi kala musim hujan datang, warna temboknya cerah ceria tak lagi kusam dan
buram, adiknya Warsiti dan Warsito bisa sekolah dengan lancar tidak dihina dan
direndahkan seperti yang kerap dialami Warsih selama ini.
Sesampainya di
bandara Sukarno-Hata, Warsih makin bingung karena Yu Kamsah tidak segera
mengajak Warsih ke suatu tempat. Tempat penampungan misalnya. Bukankah lazim
kalau seorang TKW seperti warsih perlu di bekali keterampilan. Bahasa
misalnya.apalagi Warsih yang belia dan belum lulus SMP
"Yu,
biasanya kalauTKW kan ke tempat penampungan terlebih dahulu ." tanya
Warsih pelan dan hati - hati.
“Nggak perlu
Warsih, soalnya kamu sudah pasti dapat majikan jadi tidak perlu di tampung
segala. Soal bahasa, tidak jauh beda dengan bahasa kita cuma beda pengucapanya
saja". Jelas Yu Kamsah panjang
lebar.
Sejam berlalu
orang yang ditunggu Yu Kamsah tak kunjung datang. Warsih makin bingung, takut,
melihat Yu Kamsah panik. Lebih takut lagi manakala Yu Kamsah baru menyadari
kalau handphonenya tidak terbawa
"Warsih
kamu tunggu disini. Yu Kamsah mau cari Wartel
sebentar"
"Inggih yu"
Warsih mengambil
TTS dari tas. Buku teka teki silang yang
dibelinya pada agen koran yang mangkal di terminal Tegal sebelum menuju
Jakarta.
"Warsih.......koen Warsih kan?". Suara
wanita dengan
bahasa tegalan yang kental membuyarkan kosentrasi Warsih.
"Yu Tinah
ya". Tanya Warsih memastikan. "Koen
mrene karo sapa". "Aku kesini sama yu Kamsah"
"Apa... Yu...
..Kamsah, Yu Kamsah yang gendut, Yu Kamsah yang menor, Yu Kamsah yang kayak tangan
dan lehernya mirip toko emas berjalan"?
"Inggih leres"
"Aduh
gaswat.. .terus Yu Kamsah kemana ".
"Lagi ke
wartel katanya HP-nya tak terbawa".
"Kamu patut
bersyukur Warsih, sekarang ayo ikut yu Tinah"
"Ikut
kemana"
"Nanti di
perjalanan Yu Tinah jelaskan"
****
Warsih
mengucapkan syukur berkali-kali karena lolos dari perangkap Yu Kamsah.
Dari Yu Tinah
Warsih tahu kalau Yu Kamsah sering memperdagangkan gadis desa yang lugu ke
pria- pria hidung belang. Yu Tinah salah satu korbannya. Karena Yu Kamsah, Yu Tinah pernah terjerembab kedunia hitam.
Beruntung ada lelaki yang mengangkatnya dari dunia nista meski lelaki itu cuma
tukang parkir disekitar Bandara.
Bis Dewi Sri sampai keterminal Tegal. Tiba-
tiba suasana kelas yang riuh ramai saat guru mapel absen atau suasana kelas yang sepi, lengang saat mengerjakan
soal ulangan, datang menyergap. Dibulatkannya tekad untuk terus dan terus
sekolah seberat dan sesulit apapun. Biarlah genteng yang perlu diganti, dinding
rumah yang cerah, baju- baju bagus tinggal mimpi. Ya cuma mimpi
NB..cerpen ini ada di kumcer Akulah Pencuri Itu. Sebelumnya dimuat di majalah Edukita th 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar