Cerpen Sutono Adiwerna (Suara Merdeka, 2 September 2012)
Ilustrasi Kak Jo |
"Ih, kalau aku sih nggak mau punya ibu tiri" ucap Vito, begitu melihat aku memasuki ruang kelas
"Iya,
aku juga. Ibu tiri kan jahat" sahut Dodi teman sebangku Vito, tak mau
kalah. Kalau saja bel tanda masuk disusul kehadiran Bu Endah, mungkin
aku masih akan mendengar sindiran dua temanku yang memang terkenal nakal
dan usil.
Sepanjang
pelajaran Sains berlangsung, aku tidak begitu konsentrasi mendengar
penjelasan Bu Endah tentang Penguapan dan Penyubliman Zat atau Benda.
Yang bermain dikepalaku adalah kata- kata Vito dan Dodi bahwa ibu tiri
itu tidak ada yang baik. Ibu tiri itu jahat. Tapi benarkah Tante Hesti
seperti itu?
Selama
seminggu tinggal serumah, Tante Hesti tidak pernah marah, jarang sekali
menyuruh- nyuruh, apalagi mencubit atau memukul, seperti yang di
lakukan ibu tiri dalam dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih kesukaanku.
Padahal aku tak berusaha menyembunyikan ketidak sukaanku pada Tante
Hesti. Aku sering acuh tak acuh saat diajak ngobrol Tante Hesti. Ketika
ayah menegur aku, justeru Tante Hesti yang menengahi agar ayah lebih
sabar. Ketika aku mengatakan masakan Tante Hesti tak selezat masakan
bunda, Tante Hesti juga tidak protes. Tante Hesti juga santai, meski
sudah resmi menjadi istri ayah, aku masih enggan memanggilnya Ibu, mama
atau sebutan lainnya.
"Awalnya aja terlihat baik, nanti dua minggu atau satu bulan kemudian,
dia akan berubah menjadi monster jahat yang menyeramkan. Hiiii" itu kata
Vito terakhir sebelum Bu Endah memulai pelajaran Sains.
Mungkinkah
seminggu kedepan Tante Hesti akan berubah jahat seperti kata Vito ?
Bisikku dalam hati, tentu saja mataku pura- pura menyimak penjelasan Bu
Endah
Aku
resah. Di luar langit mendung. Awan hitam menggumpal- gumpal, Bu Endah
belum juga mengakhiri pelajaran. Padahal lima menit lalu bel tanda
pulang sudah berdentang.
Pagi
tadi, Tante Hesti sudah mengingatkan agar aku membawa payung atau jas
hujan. Tapi aku tak mengindahkan nasehat Tante Hesti bahkan pagi tadi
aku berangkat sekolah tanpa berpamitan terlebih dahulu. Maklum ayah
sedang dinas di luar kota jadi, aku bisa bertindak sesuka hatiku.
Bresss...!!
Hujan turun deras, setelah Bu Endah menutup pelajaran. Vito, Dodi, dan
teman- teman lainnya memakai payung atau jas hujan masing- masing.
Sementara aku hanya bisa berdiam diri sambil berharap, hujan segera
mereda. Memang sih, ada beberapa yang menawari turut serta, tapi aku
menolak dengan halus.
5
menit, 10 menit, 15 menit, hujan belum juga berhenti. Sekolah benar-
benar telah sepi. Mungkin tinggal Pak Ujang penjaga sekolah yang sedang
sibuk di dapur sekolah.
Aku
tidak mungkin menerobos hujan karena aku mudah terserang flu dan batuk
jika terkena air hujan. Belum lagi tas, sepatu, seragam, dan buku-
bukunya pasti basah dan rusak jika terkena guyuran hujan.
Aku memeluk erat tas punggung berwarna hitam di dada. Setiap kelas
biasanya dikunci Pak Ujang menjelang sore hari. Bibirku komat- kamit
berdoa agar hujan reda, sementara mataku setengah memejam. Ditengah
doaku, sebuah tangan lembut menyentuh pundak
"Hmm.
Coba, Damar menuruti kata Tante agar bawa payung atau jas hujan, jadi
kamu ndak seperti anak hilang seperti ini" gurau Tante Hesti, sambil
tersenyum. Mataku berbinar senang. Reflek tubuh mungilku memeluk Tante
Hesti yang tengah menenteng payung besar, berwarna hitam.
"Makasih ya Tan, eh, Mama" kataku lirih. Tapi aku yakin suaraku terdengar oleh telinga Tante Hesti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar