Kamis, 07 September 2017

KOKO

Namaku Koko. Tapi, hampir semua siswa di SMA 3 memanggilku Emon.  Jujur aku marah, benci, tak suka dipanggil demikian. Tapi aku bisa apa? Aku tak becus mendribel bola saat basket. Kakiku kaku seperti kayu saat menggiring bola. Tanganku gemetar memegang raket. Tenagaku juga tak kuat saat memukul bola voli. Tak hanya itu, kalau lompat tinggi aku orang pertama yang gugur di ketinggian 110 cm. Namaku Koko. Karena aku selalu jadi pecundang  di pelajaran olahraga, mereka memanggilku Emon. Ohya suaraku juga lembut. Seperti suara ibuku
            Ibuku meninggal saat aku kelas 1 SD. Bapak bekerja sebagai tukang macul. Bapak bekerja kalau ada pemilik sawah yang menyuruh. Kalau tidak? Bapakku nganggur
            Meski aku lahir dari keluarga tak mampu, aku termasuk anak yang cukup cerdas. Di bangku SD aku sering mendapat peringkat  kelas saat pembagian rapot
            Namaku Koko. Aku ingin terus sekolah meski untuk itu, sejak kelas 3 SD aku sudah bekerja di pabrik kerupuk di dekat rumah. Aku juga kerap ditegur guru karena sering telat bayar iuran SPP. Penampilanku juga paling kucel dibanding murid-murid lainnya. Maklum baju seragamku cuma satu.
            Karena hidup dalam kemiskinan, sejak kecil aku tak pernah merasakan asyiknya bermain bola di lapangan seperti anak lainnya.  Tak bisa bebas mandi di kali gung karena sepulang  sekolah aku harus berangkat kerja hingga petang hari. Andai saja ibu belum tiada? Andai saja bapakku kaya raya? Aku tak perlu susah payah agar bisa terus sekolah
            Namaku Koko. Kalau hari minggu aku juga harus disibukan mencuci baju dan seragam, melipat kadang juga menyetrikanya. Aku cuma gigit jari melihat anak-anak lain memancing atau bersepeda ria ke Waduk Cacaban, yang terkenal di kota kami.
            Aku nyaris putus asa ketika bapak tak mengizinkanku untuk melanjutkan sekolah selepas mendapat ijazah SMP
            “Biaya SMA itu selangit. Kamu tak lihat sepupumu Ragil yang orangtuanya menjual tanah untuk biaya sekolahnya?” cecar bapak kala itu. Aku hanya bisa menunduk tanpa bisa melawan.
            Setahun lamanya aku memendam rindu duduk di bangku sekolah, berseragam putih abu-abu. Kalau malam menjelang aku sering menangis di sajadah kadang juga membahasi buku harian  saat meluapkan gundah gulanda karena ingin sekolah. Setahun lamanya aku menyimpan mimpi sembari terus bekerja di pabrik kerupuk kepunyaan Lik Yanto
            Namaku Koko.  Suatu hari Tante Yeni sahabat almarhum ibu. Tante Yeni bersedia menyekolahkanku dengan sarat aku ikut ke kota membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel atau mencuci motor atau mobil kepunyaan suaminya. Tanpa pikir panjang dan bapak membolehkan aku mengiyakan ajakan Tante Yeni. Asal bisa sekolah,  pekerjaan-pekerjaan itu tak menjadi beban buatku. Lagi pula bukankah pendidikan adalah hak setiap warga negara?
            Orang-orang kota dan orang-orang di kampungku ternyata seperti air dan api. Ketika di kampung tak pernah ada yang mengejekku Emon, Beti atau apalah. Di kampung aku dikenal sebagai anak penurut dan pintar. Itu saja
            Kali pertama aku mengenalkan diri di depan kelas,  mendengar suaraku yang kecil dan lembut murid-murid di kelasku langsung berseloroh Emon. Emon. Emon. Belakangan aku baru tahu kalau Emon adalah salah satu karakter di novel dan film Catatan Si Boy yang kemayu dan centil seperti perempuan
            Tante Yeni punya anak yang seumuran denganku, namanya Ferdy.  Ferdy juga sepertinya tak menyukaiku. Kalau di sekolah ia seperti tak mengenalku. Kalau di rumah Ferdy juga hanya berbicara denganku seperlunya saja. Padahal aku ingin berkawan dengannya.
            Suatu hari Tante Yeni dan suaminya ke luar kota. Ferdy yang biasanya di rumah kalau ada orang tuanya, pergi entah kemana. Mungkin ke rumah temannya, mungkin juga ke diskotik seperti anak orang kaya lainnya. Ohya Tante Yeni dan keluarganya, punya pembantu rumah tangga yang bertugas memasak dan menyetrika, tapi biasanya berangkat pagi dan pulang menjelang sore hari
            Tengah malam, aku terbangun. Dari pintu kamarku, aku mendengar suara langkah yang mencurigakan. Dengan berdebar aku mengintip dari lubang kunci. Deg. Ada tamu tak diundang. Aku merapal doa mencari sesuatu. Aku harus berbuat sesuatu.
            Entah keberanian dari mana, aku memegang linggis yang kebetulan ada di kamarku. Aku mendekati orang bertutup kepala yang sedang berusaha membuka pintu kamar  Tante Yeni dan suamianya. Aku mengayunkan linggis itu tepat mengenai pundak  orang bertutup kepala itu
            Namaku Koko. Kau pernah membaca novel atau menonton film Getar-Getar Cinta yang booming itu? Novel itu karya Koko Kusuma,  nama lengkapku. Setelah kejadian pencurian di rumah Tante Yeni belasan tahun lalu itu, aku sempat  dirawat di rumah sakit karena sobekan dari benda tajam yang dibawa orang bertutup kepala itu, aku berhasil menggagalkan perampokan itu karena para tetangga Tante Yeni tiba-tiba berdatangan. Sejak saat itu, Ferdy mau bersahabat denganku, teman-teman di SMA 3  juga tak lagi memanggilku Emon


Penulis : Sutono Adiwerna. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Minggu Pagi, Tabloid Cempaka, Kedaulatan Rakyat,  Suara Merdeka, Radar, Ummi  dll

NB..cerpen ini dimuat di Minggu Pagi, koran mingguan dari Yogyakarta. Emailnya we_rock_we_rock@yahoo.co.id

11 komentar:

  1. Selamat ya, Koko... Eh, Mas Suto.
    Keren nembus terus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih mba Liza..terimakasih sudah mampir

      Hapus
  2. Selamat ya, Koko... Eh, Mas Suto.
    Keren nembus terus.

    BalasHapus
  3. sederhana tapi keren mas. aku suka aku suka.

    BalasHapus
  4. bacanya santai dan mudah dimengerti. 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sudah berkenan membaca dan mampir di blog ini mbak Haryati..

      Hapus
  5. Ada sesuatu yg melekat di hati aku. Sederhana tapi manis. Cuman bisa bilang,"Oo...iya,begitu ya." Speechless. Suka, suka dan suka.Terus berkarya, Mas.

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah jika ceritanya berkesan..terimakasih banyak atas kunjungan dan apresiasinya ya mba Kavita..

    BalasHapus
  7. Emailnya redaksi minggu pagi nyentrik banget ya? Hihi. Saya juga pernah sekali terbit di sana. Terus pas ambil honor, ketemu redaksinya langsung... Ramah bgt! Pengen nulis lg

    Eniwei bagus ceritanya. Ringan tapi menyentuh

    BalasHapus
  8. terimakasih sudah mampir mba Artha..ayok nulis lagi. saya juga ingin kirim lagi. tapi kalau honor sudah cair..hihi

    BalasHapus

Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna