Senin, 22 Agustus 2016

Dalam Cahaya Temaram


                Koridor  SMU Tiga mulai senyap. Har melangkah dengan gontai.  Di benaknya masih terngiang-ngiang kata-kata Pak Tugiman sebelum dirinya meninggalkan kelas XII Sos 1.
                “Har, minggu depan ujian nasional. Sampaikan sama bapakmu, tunggakan SPP-nya segera dilunasi”
                “Kalau belum lunas, artinya saya batal ikut UNAS  Pak?”
                “Bisa jadi. Kalaupun boleh ikut, kamu harus antri kartu sementara. Bapak sih berharap semua siswa SMU Tiga fokus mengerjakan soal-soal  saja. Tidak ada yang berdesakan mengambil kartu sementara”
                Angin siang menjelang sore bertiup sepoi. Har mendengus kesal ketika mendapati tulisan di dinding perpustakaan “ SETIAP WARGA BERHAK MENDAPATKAN PENDIDIKAN”
                “ Mas Har..tunggu!” Har menghentikan langkahnya. Seorang gadis berjilbab melangkah dengan tergesa-gesa. Nia adalah sepupunya yang duduk di kelas sepuluh.
                “Kok mukanya kusut gitu Mas? Ada masalah?” tanya Nia setelah langkah mereka agak berjajar. Har menjawab dengan anggukan kepala
                “Ayolah cerita. Siapa tahu Nia bisa ngebantu
                “Masalahku apalagi kalau bukan soal SPP menunggak”curhat Har akhirnya
                “Apa perlu Nia minta bantuan Ayah. Minggu depan Mas Har UNAS kan?” Nia meminta persetujuan. Har menggelengkan kepala
                “Kamu dan Lik Sarpan sudah banyak membantu kami.  Lik Sarpan yang ngasih uang waktu daftar ulang saat bapak kebingungan cari uang untuk daftar ulang masuk SMU Tiga. Hampir setahun ini aku juga nebeng matic kamu”
                “Mas Har, kita kan saudara. Guna saudara kan saling membantu satu sama lainnya”
                “Pokoknya aku ndak mau ngerepotin kamu dan Lik Sarpan lagi. Titik” tegas Har. Nia mengulurkan kontak motor maticnya
***
                Magrib hampir datang. Har sedang sibuk memasukan dan menata  kerupuk-kerupuk mie ke dalam plastik besar berwarna bening.
                “Belum pulang Har?”tanya Lik Yanto pemilik pabrik kerupuk mie tempat Har bekerja sepulang sekolah
                “Sebentar lagi Lik. Mmm. Lik, minggu depan Har ujian nasional. Mungkin Har selama seminggu tidak masuk kerja”
                “Padahal pemesan kerupuk sedang banyak-banyaknya Har. Tapi karena ujian, Lik kasih ijin. Belajar yang rajin dan tekun ya! Jangan lupa berdoa.”
                “Lik...”
                “Hmmm..”
                “Har mau pinjam uang buat melunasi SPP. Ada Lik?”
                “Har..Har..kamukan tahu kemarin Lik habis nyetok tepung topioka. Kalaupun sisa, kan buat gajian kamu dan karyawan lainnya”
                “Tapi Lik..”
                “Har, hutangmu masih banyak. Tapi karena kamu butuh uang, gajian kamu minggu ini tidak Lik potong. Bagaimana? Lik Sarpan memberi jalan tengah. Mau tak mau Har menganggukan kepala sebelum akhirnya berpamitan pulang.
                Har sampai di rumahnya bertepatan kumandang adzan dari musala Nurhidayah
                “Baru pulang Har?” tanya Pak Karso, ayahnya.
                “Inggih Pak “ jawab Har singkat
                “Har kamu gajian?” tanya Pak Karso sembari memakai peci hitam, bersiap-siap menuju musalah. Har menganggukan kepala. “ Bapak pinjam Rp.30.000. Ada?”
                “Ngapunten Pak, uang Har nantinya buat bayar tunggakan SPP. Itupun belum lunas”
                “Yo wis, buat bayar SPP dulu. Maafkan Bapak ya Har! Harusnya kamu dan Ed tugasnya belajar dan sekolah saja. Kalian malah bekerja sepulan sekolah. Bapak memang bukan bapak yang baik”
                “Bapak nggak boleh ngomong seperti itu. Semenjak Ibu meninggal, Bapak bekerja keras menjadi ayah sekaligus ibu buat kita”
***
                Mentari pagi yang seharusnya hangat dan segar terasa begitu terik dan menyengat bagi Har dan murid-murid kelas XII yang berdesakan demi mendapatkan kartu sementara agar bisa ikut ujian. Sementara itu, teman-temannya yang berasal dari kalangan berada tengah asyik membaca dan mengerjakan soal demi soal yang ada di kertas ujian
                Har menarik napas lega setelah kartu sementara yang didapatnya dengan susah payah berhasil dalam genggaman.  Har berlari menuju ruang ujian setelah berkali-kali mengucap syukur
                Begitu sampai di kelas, setelah menyapa guru penjaga, Har menuju bangkunya.
***
                Magrib belum tiba. Lampu-lampu di rumah Har belum menyala. Ya, rumah Har memang belum pasang listrik sendiri, tapi menyalur di rumah Mak Saedah yang rumahnya berada di belakang  rumah mereka.
                “Pak tumben kok Mak Saedah belum nyalain lampu? Bakda magribkan Har harus belajar”
                “Sabar ya Har, sementara saluran listrik rumah ini diputus. Kalau sudah bayar baru disambung lagi”
                “Tapi Pak, Mas Har kan besok ujian. Kasian kan?”sela Ed yang sudah memakai sarung, baju koko dan peci.
                “Tadi Bapak juga sudah ngomong agar jangan diputus dulu. Maafkan Bapak ya Har, Ed. Bapak memang orang tua yang tak berguna”
                Suasana hening.  Ed dan Har menyesal telah membuat bapaknya sedih.
                “Pak, Ed, daripada bengong, mending kita cari dimana lampu-lampu teplok. Ed, sebelum ke musalah, tolong belikan minyak tanah di toko SARI. Seingatku di sana ada minyak tanah. Uangnya ada di saku seragam Mas Har.”
                “Beres Bos “
***
                Malam ini rumah Har nampak lenggang. Selain cahayanya yang temaram, Ed sedang ke rumah Bas sahabatnya. Pak Karso sedang ke rumah Bu Gendi, hendak mengambil upah buruh macul selama 3 hari. Hanya Har yang sedang berjibaku dengan tumpukan buku catatan dan buku paket pelajaran.
                Dalam Cahaya Temaram, Har beruajar berkali-kali. Di dalam hati. Har berjanji, agar belajar sebaik mungkin. Akan berusaha sekuat mungkin agar hari esok dirinya dan keluarganya hidup lebih baik lagi. Dalam Cahaya Temaram, Har tak putus berdoa  kepada Allah agar besok diberi kemudahan mengerjakan soal-soal ujian..


Keterangan, Cerpen ini  pernah
dimuat di Minggu Pagi, KR grup.




Jumat, 19 Agustus 2016

Hidup Butuh Perjuangan

Judul                  : BAPAK
Penulis               : Sutono Adiwerna
Penerbit              :Puput Happy Publishing
Tahun                 : Pebruari 2015
Jumlah                : 83 halaman
ISBN                  : 978-602-7806-33-7
Peresensi            : M. Madun Anwar, beralamat Jln. Ketapang, Desa Madayin (Bayan) Kec. Sambelia (83656), Lombok Timur, NTB.

Beliau selalu berpesan kepada anak-anaknya agar melek huruf dan ilmu agama. Tidak seperti dirinya yang buta huruf.

Setiap orangtua meminginginkan anaknya menjadi seseorang yang lebih dari dirinya. Tidak ingin menderita seperti dirinya. Begitu juga yang digambarkan dalam cerpen berjudul Ciu Bapak, seorang anak kecil yang menggambarkan bagaimana kelakukan bapaknya. Bapaknya seorang peminum dan suka membanting benda-benda yang ada di sekitarnya setelah mabuk. Namun, di balik sikap kasarnya, bapak anak kecil ini selalu menasihati anaknya. Selain itu, ibunya digambarakan seperti perempuan yang luar biasa, bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.


Selain itu, dalam kumpulan cerpen ini ada juga cerita bagaimana keajaiban menjaga sholat dhuha yang mendatangkan rizki yang tidak terduga. Maha Suci Allah, saat sepeda saya rusak, Allah mengganti dengan yang baru. Saat ponsel saya hilang atau rusak, Allah juga mengganti dengan ponsel yang lebih baik. Bahkan saat saya dililit hutang, selalu saja ada jalan keluar entah itu melalui uluran tangan saudara atau teman atau pun melalui honor tulisan saya yang dimuat. (halaman 64)

Ada juga cerita Tegal-Depok, untuk Sebuah Mimpi. Di mana dalam cerita ini penulis menceritakan bagaimana perjuangannya untuk bisa menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, semua perjuangan akan mendapatkan hasilnya. Dalam cerita ini, penulis juga mencantumkan nasihat dari Mbak Asma Nadia, “Temui dan rangkul orang yang sama semangatnya atau lebih unggul dari kita karena umur kita tidak tahu akan sampai di mana, dengan begitu manfaat rumah baca kita akan lebih berkesinambungan.” (halaman 76)

Buku Bapak karya Sutono Adiwerna terdiri 15 cerita yang menginspirasi. Namun bagi saya, ini bukan sekedar cerita yang menginspirasi, lebih dari itu, yaitu bisa melihat bagaimana kehidupan seorang penulis yang sebenarnya. Dengan buku ini, penulis sebenarnya menulis kisah kehidupannya sendiri. Jadi, walaupun keberadaan kita jauh dengan penulis, setidaknya dari buku ini kita bisa mengetahui kehidupan penulisnya. Point yang perlu dipelajari dari penulis adalah, menulis kisah kehidupan sendiri tidak ada salahnya. Kenapa? Karena dengan kisah hidup sendiri, siapa tahu akan menginspirasi orang lain.

Nah, kalau seperti itu, bagi kalian yang butuh bacaan menginispirasi, buku ini layak untuk kalian beli. Secara peribadi, rekomend. Harganya? Aku lupa. Kalau mau beli, boleh hubungi penulisnya di

Selasa, 09 Agustus 2016

The Power Of Sutono

Judul Buku      : KEMUNING
Penulis               : Sutono Adiwerna
Penerbit                : Puput Happy Publishing
Cetakan                : Cetakan Pertama, November  2013
Isi                         : iv + 100 Halaman; 13 x 19 cm
ISBN                   : 978-602-7806-25-2
Harga                   : Rp 26.000,-



“Kalau kau melintas di Karanganyar, tepatnya tiga kilometer dari gerbang perbatasan antara kota dan kabupaten Tegal, dan engkau mendapati seorang perempuan dengan tubuh ramping berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas, bisa jadi yang kau jumpai itu Kemuning.”
Penggalan di atas adalah salah satu cerpen karya Sutono Adiwerna yang berjudul Kemuning. Seorang wanita cantik yang bekerja sebagai pelayan warung lesehan. Dilema karena harus memilih diantara dua laki-laki yang memperebutkannya.
Cerpen Kemuning ini adalah cerpen yang sangat nikmat dibaca. Disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan komunikatif, sehingga pembaca merasa tidak berat untuk membacanya dan tidak perlu mencari kosa kata baru karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sehari-hari dipakai dalam bahasa Indonesia.
Latar tempat dalam cerita ini juga digambarkan secara jelas dalam setiap paragraf dan dialog antar tokoh. Terkadang juga Sutono menyertakan bahasa-bahasa daerah seperti tinimbang, jompleng, dan manut. Hal tersebut mendukung latar warung lesehan dengan nuansa Jawa. Sehingga latar yang digambarkan penulis tersampaikan dengan kalimat-kalimat yang ditulisnya.
Namun, akhir cerita dari cerpen ini tidak begitu memuaskan. Bad ending yang menjadi akhir dari cerpen tentunya tidak terlalu diharapkan oleh para pembaca. Terdapat juga paragraf yang memiliki kesamaan kalimat membuat bingung orang yang pertama kali membacanya. Tidak berbeda dengan cerpen Parmin Ingin Naik Haji yang juga ditulis Sutono, memiliki ending dan gaya penulisan yang sama sehingga cerpen-cerpennya mudah ditebak.
Terlepas dari itu semua, cerpen ini sangat bagus dibaca untuk remaja terutama untuk kalangan SMP dan SMA. Terlebih sangat bagus menjadi referensi dalam menulis cerpen.

Resensor : Noval Fariz Mutaqien , Kelas 12 SMA Terpadu Al-Qudwah, Lebak Jawa Barat 

Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna