Kamis, 31 Desember 2015

Resensi Bulan Nararya



               Bulan Nararya
 Bakda Isya. Karena hujan deras turun disertai kilat dan guntur, saya mematikan televisi yang tengah menyuguhkan kontes dangdut yang ratingnya konon berhasil menggeser serial remaja tentang balapan liar dan  manusia jadi-jadian session kedua. Hujan mengajak saya kembali membuka novel Bulan Nararya karya Sinta  Yudisia yang sudah di bab terakhir.
                Beberapa hari lalu, saya juga menggerutu karena quota internet di HP  habis disaat dompet dalam keadaan sekarat. Benar benar sekarat.  Tapi belakangan saya bersyukur karena waktu untuk melihat laman facebook dapat diganti dengan membaca novel Nararya yang sudah beberapa minggu tak selesai-selesai terbaca. Padahal lomba resensi mendekati detlen.
               Bulan Nararya, mengisahkan Nararya atau biasa dipanggil Rara, seorang terapis di sebuah klinik terkenal, milik Bu Sausan. Di Klinik Mental Health Center itu, Rara menangani 3 penderita Schizoprenia. Pak Bulan yang tergila-gila mawar dan purnama, Sania gadis cilik menjelang remaja yang jiwanya terganggu  karena ayahnya pemabuk dan tempramental. Ada pula Yudhistira yang terpaksa tinggal di klinik karena kedapatan mencekik  King, kucing kesayangan Diana, sang isteri.
                Selain dituntut menyelesaikan masalah para kliennya, Rara juga harus menyelesaikan masalahnya dengan Angga mantan suaminya yang telah menikah dengan sahabatnya, Moza. Tak hanya itu, Rara juga masih sering merasa dikejar-kejar mawar yang kerap berubah menjadi genangan darah. Belum lagi Rara juga terperangkap dengan konflik Yudhistira, Diana, dan ibu, kakak-kakak Yudhistira.
               Meski saya tak seemosinal saat saya membaca Rose,( diterbitkan Indiva juga ) saya bersyukur berkesempatan membaca novel pemenang ketiga Kompetisi menulis Tulis Nusantara 2013 yang diadakan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi kreatif RI ini. Karena ceritanya menarik, tokoh-tokoh yang diciptakan Sinta Yudisia di novel ini begitu detail. Selain itu, pembaca sedikit banyak tahu tentang kejiwaan manusia. Bulan Nararya juga mengingatkan saya pada buku-buku Torey Heiden semisal Eliana, Sheila  dan lain-lain.
                Catatan saya pada novel ini, pada halaman 153 ada yang typo, Celama seharusnya selama. Catatan lainnya, di bab terakhir, beberapa halaman belabur sehingga tak nyaman dibaca. Semoga sih teman-teman yang lain yang membaca buku ini tak ada yang belabur.
               
Bulan Nararya yang kental dengan psikologi berbalut dengan bahasa sastrawi membuktikan seorang Sinta adalah penulis yang multigenre. Sinta sukses menulis epik dengan serial Takudarnya, novel remaja berjudul Shopia dan Pink, Novel Religi Roman semisal Lafaz Cinta, Rose dan lainnya, Nonfiksi Hai Pretty, Kitab Cinta dan Patah Hati hingga buku anak bertajuk Janji Cici. Terakhir, kalau teman-teman teman ingin membaca dengan harapan mendapat Value, Bulan Nararya sangat sayang untuk dilewatkan. Selamat membaca

Data Buku
Judul : Bulan Nararya
Pengarang : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi, Solo
Tahun terbit : akhir 2014
Tebal : 256 hlm

Resensor, Sutono Adiwerna, Ketua Flp Tegal, aktifis RBA Tegal
 

Kamis, 17 Desember 2015

Save Riau ( puisi siswi eskul SDIT BIAS Tegal )

Saya terkesan dengan puisi Inas Qonita di majalah bobo terbaru. Karena sejatinya saya agak iso ngajar jadi lebih nyaman langsung bikin tulisan terus saya kasih cara bagaimana melipat kertas, menulis alamat penerima, menyertakan biodata hingga alamat penulisnya. Simpel tapi jaman sekarang amat berarti. Eh jadi ngelantur. Berikut saya posting puisinya Inas, kelas 5 SDIT BIAS Assalam Kota Tegal

Save Riau 

Telah lama kami menderita
Pagi siang dan malam
Hari telah berganti
terus melangkah, tanpa ada yang peduli



berjuang sendirian melawan sesak
dinginnya pagi dan teriknya siang
bertamabah parah bersama asap hitam
air dari langit belum menetes
walau kami memohon dan terus memohon
Kawan
semoga kalian tak seperti kami
kami berharap di sana tak seperti disini
menderita sesak napas setiap hari
semoga esok tak seperti ini lagi
Inas Qonita, Suradadi, Tegal

Kamis, 10 Desember 2015

Pak Jujur dan Sehelai Uang


            Langit kelabu. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Pak Jujur mengemasi koran dan majalah dagangannya. Majalah atau tabloid ia simpan di dalam kios. Sementara koran harian ia masukan ke dalam tas. Biasanya, di tengah jalan ada yang membeli satu atau dua koran. Setelah mengunci kios, Pak Jujur menuju sepeda ontelnya.
            Gerimis kecil mulai jatuh ke bumi. Pak Jujur mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa.
            Bress...rintik gerimis menjadi hujan lebat. Pak Jujur menepikan sepeda dan berteduh di sebuah ruko yang terkunci.
            Saat hendak duduk di tepi ruko, mata Pak Jujur menangkap sehelai uang lima puluh ribuan. Suasana sepi. Pak jujur mengambil uang tersebut. Sebelum ia memasukan ke kantong bajunya, Pak Jujur mengetuk pintu ruko berkali-kali untuk menanyakan perihal uang yang ia temukan. Tapi nihil
            “Mungkin Haji Mustaqim sedang ke Surabaya”ujar Pak Jujur di dalam hati. Sembari menunggu hujan reda, Pak Jujur mengambil sehelai koran dari dalam tasnya dan  menyelami isi berita-berita dari dalam koran
            Tiga puluh menit kemudian, hujan reda. Langit sore dihiasi pelangi yang indah. Pak Jujur memasukan lagi korannya ke dalam rangsel hitam.
            Sebelum ia mengayuh sepedanya, Pak Jujur mengambil uang temuannya, kemudian menyimpulkan kalau uang yang ia temukan adalah uang palsu. Pertama karena uangnya kucel, kedua karena ukuran uannya sedikit lebih kecil dari uang lima puluh ribuan yang Pak Jujur punya.
            Dua kilometer lagi Pak Jujur sampai di rumah mungilnya. Ketika sampai di warteg dekat pasar Trayeman, sepeda Pak Jujur karena cacing-cacing di perutnya sudah main orkes. Mungkin karena tadi pagi tak sempat sarapan.
            “Bu nasi separo sama telur ya..”ujar Pak Jujur sembari mengambil tempat duduk dari kursi plastik
            “Nggih Pak Jujur. Minumnya tawar hangat?”tanya si pemilik warung. Pak  Jujur menjawab dengan anggukan kepala
            Warteg tempat Pak Jujur mengisi perut yang biasanya selalu ramai kali ini tampak sepi. Hanya dirinya dan seorang tukang becak yang sedang makan dengan lahapnya.
***
            “Sampun Bu..nasi separo, telur dan tempe goreng satu. Piro?”tanya Pak Jujur setelah menghabiskan air dari dalam gelas
            “Biasa Pak Jujur, tujuh ribu saja”
            Pak Jujur  mengambil dompet kumalnya, ia hendak membayar dengan uang yang ia temukan. Tapi karena tak tega,maka ia membayar dengan uang sepuluh ribuan yang ia miliki.
            “Suwun Pak Jujur”Si Ibu berkata tulus sembari menyerahkan uang kembalian. Pak Jujur menarik napas lega karena tidak jadi membayar dengan uang palsu itu
Setelah berpamitan kepada pemilik warung, Pak Jujur melanjutkan perjalanannya.
            Ketika sampai di depan toko kelontong di ujung gang menuju rumahnya, Pak Jujur mendadak ingat janjinya pada Laras putrinya yang hari ini sedang mengikuti lomba menggambar untuk membelikan satu set pensil warna
            Setelah memarkirkan sepeda, Pak Jujur masuk toko kelontong dan mencari pensil warna yang dijanjikan. Setelah mendapatkan satu set pensil warna dan buku gambar ukuran besar, Pak Jujur menuju kasir
            Pakai uang temuan itu ah. Toko ini toko besar, pasti rugi lima puluh ribu bukan masalah besar. Pak jujur membatin, sembari mencari uang temuannya dari dalam dompet.
            “Sudah ini saja Pak Jujur?”tanya kasir muda itu ramah.
            “Nngg..iyya. Berapa?” Pak Jujur menjawab dengan tergagap
            “Dua puluh lima ribu Pak”
            Pak jujur lagi-lagi tak jadi memakai uang temuannya untuk membayar. Pak Jujur berpikir, meski di sana tak ada komputer, alat pengecek uang pasti dengan mudah mengetahui siapa pemilik uang palsu itu. Karena saat itu toko kelontong besar itu ndilalah juga dalam keadaan sepi pembeli.
            Pak Jujur mengetuk rumahnya dengan perasaan gundah karena sore ini ia hanya memegang uang Rp 27.500. Padahal harga-harga sedang melambung.
            “Assalamualaikum”
            “Walaikumsalam..”Laras menyambut kedatangan bapaknya dengan riang. Pak Jujur tersenyum,perasaan gundahnya hilang entah kemana.
            “Pak, Laras...”
            “Laras, biarkan Bapakmu mandi dulu dan ganti baju. Ayok bantu Ibu membuat pisang goreng”teriak Bu Sakinah dari dalam dapur.
            “Iya nduk, Bapak mandi dulu ya, ini pensil dan buku gambar yang kemarin Bapak janjikan”kata Pak jujur kemudian.
            Setelah berterimakasih pada bapaknya, Laras bergegas lari ke dapur membantu Bu Sakinah.
            “Bapak kok mandinya lama benar” seru Laras.
“Sebentar kok, kamu saja yang nggak sabaran” jawab Pak Jujur.  Wajahnya lebih bersih pakaiannya wangi pengharum pakaian. Di meja telah tersaji pisang goreng yang masih mengepul.
            “Pak’e , anakmu yang manja itu ceritanya mau pamer habis menang lomba menggambar. Selain piagam, Laras juga dapat uang pembinaan. Tadi Ibu dikasih gadis kecil kita uang seratus ribu. Padahal Ibu sudah bilang uangnya di tabung saja”ujar Bu Sakinah lembut sembari menaruh segelas Teh hangat di meja.
            “Memangnya hadiahnya berapa nduk?
            “Laras juara 2, dapatnya 500rb”
            Alhamdulillah..mata Pak Jujur berkaca-kaca
            “Bapak, nanti habis magrib anterin Laras ke rumah Pak Karso bendahara masjid ya, Bapakkan selalu bilang kalau dapat rejeki jangan lupa sedekah”ujar Laras setengah berbisik. Mata Pak Jujur kali ini benar -benar basah

Nb. Cerpen ini dimuat di majalah Aku Aku Anak Saleh, November 2015
           












Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna