Senin, 17 Februari 2014

Warsih


Warsih mengarahkan bola mata keluar jendela dewi. Dewi sri jurusan Tegal-Jakarta telah membawanya masuki wilayah brebes. Tepatnya di pasar bawang klampok. Pasar yang diapit areal pesawahan yang luas menghampar kelihatan penuh sesak. Ada yang sedang menimbang bawang., mengikat bawang , ada pula yang sedang tawar menawar dengan tengkulak. Yang menyita perhatian ialah sekelompok anak kecil yang sedang mengais sisa-sisa bawang yang tercecer. Warsih teringat masa kanaknya. Kau saja Warsih bisa mengembalikan diri kemasa kecilnya., Warsih ingin tetap abadi menjadi  Warsih kecil. Karena dimasa itulah keriangan demi keriangan dilalui.
****
Hari itu. Setelah empat puluh hari meninggalnya bapak, emak kedatangan tamu seorang wanita paroh baya. Kaos hijau menyala membungkus kete lekuk tubuh suburnya. Rambutnya keriting paling muktahir. Lipstiknya merah menyala berpadu dengan bedak tebal menutupi garis-garis ketuannya. Warsih sendiri baru kali ini melihat wanita yang lebih mirip toko emas berjalan tersebut .
            “Enok kesini emak mau ngomong”
            “Sebentar ya mak, Warsih ganti baju dulu”
            “Y a.sana. T api aja suwe-suwe. Yu Kamsah sudah menunggu kamu sejak tadi.”
            Warsih memasuki kamarnya yang hanya terlindung tirai bergambar kembang sepatu. Warnanya kuning kusam. Digantinya seragam biru putihnya dengan kaos oblong dipadakan dengan rok selutut yang berwarna kelabu.
” Sih” Yu Kamsah akan mengajakmu bekerja. Gajinya besar. Tidak pakai rupiah tapi ringgit yang nilainya jauh lebih besar. Iya kan Yu? ‘’ kata emak semangat.
“ bekerja” pekik Warsih kaget  “ tapi warsih kan masih sekolah” lanjut Warsih
 “Sekolah kan mengelurkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi adikmu masih kecil-kecil. Apa kowen ora melas karo emakmu” Yu Kamsah tiba-tiba bersuara
‘’Enok kesempatan tidak datang dua kali. Kalau tidak sama kamu pada siapa lagi emak minta tolong” mata emak berkaca-kaca. Ada pengharapan disana
Begini saja sih. Kalau kamu bersedia nati kamu dan adik kamu, yu kamsah ajak kamu ke BP ( Banjaran Permai) disana kamu boleh pilih baju sesukamu”. Bujuk Yu Kamsah lagi.
BP atau Banjaran Permai adalah swalayan yang berdiri di tengah-tengah jalur kota ini. Memang tak pernah sepi pengunjung. Selain letaknya strategis, BP juga mempunyai mutu yang sama baiknya dari segi barang yang sediakan maupun dari segi pelayanan.
Entah sudah berapa kali Warsih ke BP. Puluhan mungkin kerena secara kebetulan letaknya cuma beberapa meter dari sekolah tempat Warsih belajar. Meski sering ke BP bukan berarti Warsih sering pula belanja seperti pengunjung BP lainya . Warsih hanya melihat-lihat. Kalau pun membeli biasanya cuma sabun mandi, odol, atau beberapa bungkus mie instant.
Sekarang ada orang yang berbaik hati membelikan baju dari outlet yang ada di BP. Biasanya, paling banter baju- baju yang Warsih kenakan di beli dari kios emperan toko itupun setahun sekali pas lebaran. Sekarang Bapak sudah tak ada. Siapa yang akan memenuhi kebutuhan sandang dirinya dan kedua adiknya.
"Keputusan di tanganmu nok, emak tak berhak memaksamu. Karena kamu yang akan menjalani. Tapi, berpuluh-puluh bahkan ratusan orang ingin bekerja di luar negri mereka rela mengeluarkan uang ratusan hingga jutaan rupiah. Sedang kamu gratis...tis". Kata mak Saedah memecah kebisuan.
Warsih diam menerawang kelangit-langit rumah. Dilihatnya genteng- genteng yang tak berternit. Warnanya kusam. Di sana sini terdapat lubang- lubang kecil yang kalau musim hujan airnya bisa menerobos bebas. Demikian juga dindingnya banyak yang terkelupas rnenampakan batu bata. Semuanya minta di perbarui. Kalau hanya mengandalkan penghasilan emak dari buruh di pabrik teh  tidak mungkin cukup. Untuk makan saja susah. Belum lagi biaya sekolah dua adiknya. Warsiti dan Warsito.
“Bagaimana Sih , gelem apa ora kalau tidak mau katakana. Jangan sungkan-sungkan biar saya segera mencari orang lain” desak Yu Kamsah.
Warsih mengangguk ragu. Warsih bingung sebab beberapa bulan lagi ujian akan dilaksanakan. Sebagai siswa kelas tiga otomatis Warsih tercatat sebagai peserta UN. Tapi kondisi keluarga menuntut uluran tangan sebagai anak sulung.
“Nah begitu, namanya anak yang berbakti “ Yu Kamsah girang alang kepalang.
Besok pagi kita BP untuk belanja keperluanmu Warsih.Malamnya baru kita berangkat biar kita sampai di Jakarta pagi- pagi. Soalnya yang bersangkutan janji jemput kamu jam 8 pagi.
“Warsih, minggu kemarin kamu belum mengisi uang kas kelas. Jadi kamu harus mem bayar dua ribu sama kas minggu ini". Kata Wati ketus seraya menyodorkan buku kas kelas.
"Maaf  Wat, aku tidak punya uang lagi. Aku cuma punya uang seribu itupun buat ongkos pulang".
"Payah kamu. Masa dua ribu aja kamu tak punya"
Warsih menunduk dalam. Seandainya, Wati tahu kalau untuk sampai ke sekolah saja Warsih harus mengilokan kertas bekas ulangan atau fotokopian materi pelajaran yang sudah tidak terpakai kepada yu Lasmi penjual nasi bungkus tetangganya.
"Seribu, tak apa- apa wis daripada tidak sama sekali"
"Tapi............."   
"Tidak ada tapi -tapian. Peraturan harus tetap di tegakan masalah kamu pulang jalan kaki kek, ngesot kek, itu bukan urusan saya". Paksa Wati.
Kejadian seperti itu memang kerap dialami Warsih. Saat ujian semesteran misalnya, Warsih terpaksa mengantri dan berdesakan bersama puluhan siswa lainnya untuk mendapatkan kartu sernentara sebagai syarat untuk bisa menigkuti ujian semesteran. Terkadang Warsih bertanya apakah yang berhak pandai, pinter cuma orang- orang kaya?.
Mengingat itu membuat Warsih makin mantap untuk meyambut ajakan Yu Kamsah
****
Di perjalanan menuju ibukota, Yu Kamsah tak henti- hentinya berpesan agar Warsih di ganti namanya menjadi Asih. Umur di ubah menjadi sembilan belas bukan lima belas tahun. Domisili diubah menjadi Brebes bukan Tegal lagi. Tapi, kebingungan Warsih dikalahkan niatnya untuk merubah nasib. Dikhayalkanya, rumah Warsih tak bocor lagi kala musim hujan datang, warna temboknya cerah ceria tak lagi kusam dan buram, adiknya Warsiti dan Warsito bisa sekolah dengan lancar tidak dihina dan direndahkan seperti yang kerap dialami Warsih selama ini.
Sesampainya di bandara Sukarno-Hata, Warsih makin bingung karena Yu Kamsah tidak segera mengajak Warsih ke suatu tempat. Tempat penampungan misalnya. Bukankah lazim kalau seorang TKW seperti warsih perlu di bekali keterampilan. Bahasa misalnya.apalagi Warsih yang belia dan belum lulus SMP
"Yu, biasanya kalauTKW kan ke tempat penampungan terlebih dahulu ." tanya Warsih pelan dan hati - hati.
“Nggak perlu Warsih, soalnya kamu sudah pasti dapat majikan jadi tidak perlu di tampung segala. Soal bahasa, tidak jauh beda dengan bahasa kita cuma beda pengucapanya saja". Jelas Yu  Kamsah panjang lebar.
Sejam berlalu orang yang ditunggu Yu Kamsah tak kunjung datang. Warsih makin bingung, takut, melihat Yu Kamsah panik. Lebih takut lagi manakala Yu Kamsah baru menyadari kalau handphonenya tidak terbawa
"Warsih kamu tunggu disini.  Yu Kamsah mau cari Wartel sebentar"
"Inggih yu"
Warsih mengambil TTS dari tas. Buku teka teki silang  yang dibelinya pada agen koran yang mangkal di terminal Tegal sebelum menuju Jakarta.
"Warsih.......koen Warsih kan?". Suara
wanita dengan bahasa tegalan yang kental membuyarkan kosentrasi Warsih.
"Yu Tinah ya". Tanya Warsih memastikan. "Koen mrene karo sapa". "Aku kesini sama yu Kamsah"
"Apa... Yu... ..Kamsah, Yu Kamsah yang gendut, Yu Kamsah yang menor, Yu Kamsah yang kayak tangan dan lehernya mirip toko emas berjalan"?
"Inggih leres"
"Aduh gaswat.. .terus Yu Kamsah kemana ".
"Lagi ke wartel katanya HP-nya tak terbawa".
"Kamu patut bersyukur Warsih, sekarang ayo ikut yu Tinah"
"Ikut kemana"
"Nanti di perjalanan Yu Tinah jelaskan"
****
Warsih mengucapkan syukur berkali-kali karena lolos dari perangkap Yu Kamsah.
Dari Yu Tinah Warsih tahu kalau Yu Kamsah sering memperdagangkan gadis desa yang lugu ke pria- pria hidung belang. Yu Tinah salah satu korbannya. Karena Yu Kamsah,  Yu Tinah pernah terjerembab kedunia hitam. Beruntung ada lelaki yang mengangkatnya dari dunia nista meski lelaki itu cuma tukang parkir disekitar Bandara.
Bis Dewi Sri sampai keterminal Tegal. Tiba- tiba suasana kelas yang riuh ramai saat guru mapel absen atau suasana kelas yang sepi, lengang saat mengerjakan soal ulangan, datang menyergap. Dibulatkannya tekad untuk terus dan terus sekolah seberat dan sesulit apapun. Biarlah genteng yang perlu diganti, dinding rumah yang cerah, baju- baju bagus tinggal mimpi. Ya cuma mimpi

NB..cerpen ini ada di kumcer Akulah Pencuri Itu. Sebelumnya dimuat di majalah Edukita th 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna