Rabu, 25 September 2013

Tak Cukup Hanya Pintar


             “Tumbas..” seru Fitri di depan warung Om Tono
             “Beli apa Fit?” tanya Om Tono sambil meletakan buku yang sedang dibacanya di atas etalase
             “Brownis satunya berapa Om”
             “Satu potong seribu Fit”
             “Beli dua deh” Fitri menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan
             “Nggak berangkat sekolah Fit” tanya Om Tono, ramah. Fitri menjawab dengan anggukan kepala
             “ Kenapa nggak berangkat? Setahu Om beberapa hari yang lalu kamu juga nggak ke sekolah. Nanti nggak rengking satu lagi loh Fit” kata Om Tono lagi. TanganOm Tono yang kokoh menghitung uang untuk kembalian.
             “Nggak bakalan deh Om. Soalnya, nilai- nilai Fitri  saat UTS kemarin selalu tertinggi” jawab Fitri tanpa bermaksud sombong
             “Buat surat ijin nggak untuk Bu Heni”tanya Om Tono. Fitri menggelengkan kepala.
             “Waktu senin kemarin nggak masuk sekolah, nggak bikin surat ijin juga?” cecar Om Tono. Lagi-lagi Fitri menggelengkan kepala.
             “Eh..Om kok nanya-nya macam- macam kayak wartawan,uang kembaliannya mana?” ujar Fitri sedikit kesal. Om Tono menyerahkan empat lembar uang dua ribuan dengan tersenyum.
             Meski semenjak dua tahun lalu menjadi yatim dan ibunya sibuk berangkat kerja pagi-pagi sekali sehingga tak begitu memperhatikan anak semata wayangnya.  Fitri tumbuh menjadi anak yang pintar. Dari kelas satu hingga kelas empat  Fitri selalu rengking pertama. Mulanya Fitri anak yang rajin dan jarang sekali bolos sekolah. Kalaupun terpaksa bolos, biasanya kalau sedang demam tinggi. Maklum dari kelas satu sampai  kelas empat,  guru- gurunya terlihat galak sehingga Fitri segan. Berbeda dengan Bu Heni wali kelasnya sekarang. Selain cantik, Bu Heni yang berkerudung itu selalu terlihat lembut dan tak bisa marah. Mungkin karena nilai- nilai Fitri bagus, Bu Heni diam saja ketika dirinya bolos sekolah beberapa hari yang lalu.
                             Fitri sangat senang karena nilai  ujian kenaikan kelas semuanya memuaskan. Sebagian menduduki nilai tertinggi sebagian lagi berada di bawah posisi Nesa. Fitri tambah yakin posisinya sebagai bintang kelas tak bisa digusur oleh siapapun, termasuk Nesa.
             Seminggu setelah UAS, tibalah saat- saat mendebarkan. Saat menerima buku raport.
             Semua wajah penghuni kelas lima SD Budi Pekerti terlihat tegang begitu Bu Heni muncul di kelas.
             Setelah berdoa bersama, Bu Heni berujar “ Selamat pagi anak- anak”
             “Pagi Bu..”

             “Anak- anak semua, Ibu sangat senang sekali. Nilai- nilai kalian mengalami banyak kemajuan dibanding saat kelas empat. Almamdulillah.  Oke, sebelum rapor Ibu bagikan, terlebih dahulu Ibu bacakan peringkat satu sampai peringkat tiga
             Suasana kelas hening sejenak.Sinar hangat disertai angin menerobos dari pintu dan jendela kelas yang sengaja dibuka.
            
             “Anak- anakku,  peringkat satu sampai tiga kelas ini, nama- namanya persis saat kalian kelas empat. Hanya saja susunannya  yang berubah” lanjut Bu Heni lagi.
             Jantung Fitri berdetak lebih kencang. Karena dicekam rasa penasaran. Fitri tertunduk lesu begitu mengetahui peringkat pertama kali ini diraih oleh Nesa.
             “Sebenarnya, nilai rata- rata Fitri dan Nesa sama persis. Hanya saja karena Fitri pernah tak masuk sekolah tanpa memberi keterangan, maka peringkat satu untuk kelas ini, Ibu berikan kepada Nesa. Ibu mau kalian tak hanya pintar, tetapi belajar berdisiplin dan menaati peraturan.
             Meski sedih tak menjadi bintang kelas, Fitri tak lupa menyalami dan memberi Nesa ucapan selamat. Di kelas enam nanti, Fitri berjanji tak akan bolos lagi, kalau tak masuk sekolah akan membuat surat ijin.


NB. Dimuat di Radar Bojonegoro, minggu 15 Sept 2013. emailnya kenalyan@yahoo.co.id 
Kalau cerpen dimuat, fee-nya berupa kaos yang keren pake banget.
               


                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna