Selasa, 23 Oktober 2012

Tante Hesti

Cerpen Sutono Adiwerna (Suara Merdeka, 2 September 2012)
Ilustrasi Kak Jo
Seminggu lalu, ayah menikah dengan Tante Hesti. Meski cantik dan menurut ayah orangnya baik, tentu saja aku tidak senang mempunyai ibu baru. Bagiku posisi mendiang bunda tidak bisa diganti oleh siapapun.Aku semakin tidak suka dengan Tante Hesti begitu kabar ayah menikah lagi  tersebar hingga ke sekolah
"Ih, kalau aku sih nggak mau punya ibu tiri" ucap Vito, begitu melihat  aku memasuki ruang kelas
"Iya, aku juga. Ibu tiri kan jahat" sahut Dodi teman sebangku Vito, tak mau kalah. Kalau saja bel tanda masuk disusul kehadiran Bu Endah, mungkin aku masih akan mendengar sindiran dua temanku yang memang terkenal nakal dan usil.
Sepanjang pelajaran Sains berlangsung, aku tidak begitu konsentrasi mendengar penjelasan Bu Endah tentang Penguapan dan Penyubliman Zat atau Benda. Yang bermain dikepalaku adalah kata- kata Vito dan Dodi bahwa ibu tiri itu tidak ada yang baik. Ibu tiri itu jahat. Tapi benarkah Tante Hesti seperti itu?
Selama seminggu tinggal serumah, Tante Hesti tidak pernah marah, jarang sekali menyuruh- nyuruh, apalagi mencubit atau memukul, seperti yang di lakukan ibu tiri dalam dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih kesukaanku. Padahal aku tak berusaha menyembunyikan ketidak sukaanku pada Tante Hesti. Aku sering acuh tak acuh saat diajak ngobrol Tante Hesti. Ketika ayah menegur  aku, justeru Tante Hesti yang menengahi agar ayah lebih sabar. Ketika aku mengatakan masakan Tante Hesti tak selezat masakan bunda, Tante Hesti juga tidak protes. Tante Hesti juga santai, meski sudah resmi menjadi istri ayah, aku masih enggan memanggilnya Ibu, mama atau sebutan lainnya.
            "Awalnya aja terlihat baik, nanti dua minggu atau satu bulan kemudian, dia akan berubah menjadi monster jahat yang menyeramkan. Hiiii" itu kata Vito terakhir sebelum Bu Endah memulai pelajaran Sains.
Mungkinkah seminggu kedepan Tante Hesti akan berubah jahat seperti kata Vito ? Bisikku dalam hati, tentu saja mataku  pura- pura menyimak penjelasan Bu Endah
Aku resah. Di luar langit mendung. Awan hitam menggumpal- gumpal, Bu Endah belum juga mengakhiri pelajaran. Padahal lima menit lalu bel tanda pulang sudah berdentang.
Pagi tadi, Tante Hesti sudah mengingatkan agar aku membawa payung atau jas hujan. Tapi aku tak mengindahkan nasehat Tante Hesti bahkan pagi tadi aku berangkat sekolah tanpa berpamitan terlebih dahulu. Maklum ayah sedang dinas di luar kota jadi, aku bisa bertindak sesuka hatiku.
Bresss...!! Hujan turun deras, setelah Bu Endah menutup pelajaran. Vito, Dodi, dan teman- teman lainnya memakai payung atau jas hujan masing- masing. Sementara aku hanya bisa berdiam diri sambil berharap, hujan segera mereda. Memang sih, ada beberapa yang menawari turut serta, tapi aku menolak dengan halus.
5 menit,  10 menit, 15 menit, hujan belum juga berhenti. Sekolah benar- benar telah sepi. Mungkin tinggal Pak Ujang penjaga sekolah yang sedang sibuk di dapur sekolah. 
Aku tidak mungkin menerobos hujan karena aku mudah terserang flu dan batuk jika terkena air hujan. Belum lagi tas, sepatu, seragam, dan buku- bukunya pasti basah dan rusak jika terkena guyuran hujan.
            Aku memeluk erat tas punggung berwarna hitam di dada. Setiap kelas biasanya dikunci Pak Ujang menjelang sore hari. Bibirku  komat- kamit berdoa agar hujan reda, sementara mataku setengah memejam. Ditengah doaku, sebuah tangan lembut menyentuh pundak
"Hmm. Coba, Damar menuruti kata Tante agar bawa payung atau jas hujan, jadi kamu ndak seperti anak hilang seperti ini" gurau Tante Hesti, sambil tersenyum. Mataku berbinar senang. Reflek tubuh mungilku  memeluk Tante Hesti yang tengah menenteng payung besar, berwarna hitam.
"Makasih ya Tan, eh, Mama" kataku lirih. Tapi aku yakin suaraku terdengar oleh telinga Tante Hesti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna